Banyak Katalis Positif, Yield Obligasi Pemerintah Bisa Kembali ke Level 6,5 Persen
Pasar obligasi Indonesia dinilai telah mencatatkan kinerja positif sepanjang 2022.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar obligasi Indonesia dinilai telah mencatatkan kinerja positif sepanjang 2022. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun pun diproyeksi bisa kembali ke kisaran 6,5-6,75 persen pada 2023. Pada tahun lalu, berdasarkan data realisasi APBN 2022, rata-rata imbal hasil SBN 10 tahun sebesar 7,05 persen.
"Kinerja pasar obligasi Indonesia lebih baik dibandingkan pasar lainnya di kawasan Asia, seperti Hong Kong, Filipina, Singapura, dan Thailand yang mengalami koreksi tajam," kata Direktur and CIO Fixed Income Manulife Asset Management Indonesia (MAMI) Ezra Nazula, Selasa (17/1/2023).
Ezra menjelaskan, selama 2022, kurva imbal hasil pasar obligasi menunjukkan pola bearish flattening. Obligasi dengan tenor paling pendek atau dua tahun mengalami kenaikan imbal hasil paling signifikan sebesar 181 bps. Sedangkan obligasi dengan tenor paling panjang 30 tahun mengalami kenaikan imbal hasil paling kecil 46 bps.
Jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2012–2022), pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja kumulatif sebesar 8,03 persen per tahun. Kepemilikan asing di pasar obligasi terlihat telah menyusut, dari semula 19,05 persen atau secara nilai Rp 891,3 triliun pada akhir 2021 menjadi 14,36 persen atau Rp 762,2 triliun di akhir 2022.
Rendahnya kepemilikan asing di pasar obligasi diharapkan dapat mengurangi volatilitas akibat aksi jual investor asing. Selain itu, ekspektasi berkurangnya agresivitas kenaikan Fed Funds Rate, seiring dengan inflasi Amerika Serikat yang terus mengalami moderasi, akan mengangkat sentimen global dan membawa kembali arus masuk dana asing.
"Di dalam negeri, diversifikasi investor domestik menjadi penopang utama, khususnya di perbankan, asuransi dan dana pensiun, serta investor ritel," ujar Ezra.
Lebih lanjut, Ezra memaparkan tiga katalis pasar obligasi di tahun 2023. Pertama, perbaikan fundamental makro. Indikator makro ekonomi yang membaik, seperti defisit fiskal di bawah target pemerintah, dapat mendukung kenaikan rating Indonesia.
Kedua, kuatnya permintaan domestik. Permintaan dari investor perbankan, asuransi, dana pensiun, dan investor ritel diperkirakan masih kuat untuk menopang pasar.
Ketiga, skenario pembukaan kembali China. Skenario dibukanya perekonomian China diperkirakan akan membantu meningkatkan sentimen positif ke pasar global.
Selain itu, risiko yang perlu diwaspadai yaitu ketidakpastian yang masih terus ada dari pasar global, seperti perang Rusia dan Ukraina, kebijakan bank sentral Amerika dan dunia yang berpotensi kembali menjadi hawkish jika data ekonomi masih kuat di atas konsensus, dan tekanan politik yang berpotensi timbul jelang Pemilu 2024.
"Kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun bisa kembali ke kisaran 6,50 persen-6,75 persen," ujar Ezra.