Dasar Wakaf dan Pandangan Ahli Hukum Islam
Salah satu perbuatan baik yang paling dicintai Allah adalah menafkahkan sebagian harta yang paling dicintainya.
Salah satu perbuatan baik yang paling dicintai Allah adalah menafkahkan sebagian harta—yang paling dicintainya—untuk kepentingan sosial. Mewakafkan harta, semisal tanah yang bisa dimanfaatkan, merupakan salah satu bentuk perbuatan baik (selain zakat dan sadaqah tentu saja) yang paling dicintai Allah yang termuat di dalam al-Qur’an dan Al-Hadis.
Dasar kebaikan tersebut diketengahkan oleh al-Qur’an maupun Al-Hadis dalam beberapa ayat dan hadis di antaranya termuat dalam surah Ali Imran dan Al-Baqarah. Dalam surat Ali Imran disebutkan bahwa “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Q.S Ali Imran [03]: 60)
Firman di atas menginsyaratkan bahwa wakaf masuk di dalamnya; dan dalam ayat lain diperkuat “wahai orang-orang yang beriman infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik, dan dari apa yang kamu keluarkan untuk alam bumi. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk daripadanya untuk kemudian kamu infakkan padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata (enggan). Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji.” (QS. Al-Baqarah [02]: 267)
Kedua ayat di atas mengandung isyarat atau anjuran kebaikan agung kepada umat Muslim agar menafkahkan sebagian hartanya, dan dalam al-Qur’an, menafkahkan harta disebutkan tidak kurang dari 72 tempat, selain berkonotasi pada nafkah wajib, seperti zakat atau memberi nafkah keluarga, juga menunjukkan hukum sunnah, seperti sadaqah, hibah, dan wakaf.
Hal tersebut menunjukkan bahwa wakaf meskipun tidak disebutkan secara tegas, Al-Qur’an hanya menyebut dalam artian umum. Oleh karena keumumannya tersebut, para fuqaha menjadikan ayat-ayat umum di atas sebagai dasar hukum wakaf dalam Islam. Oleh karena itu, wakaf masuk ke dalam cakupan ayat-ayat tersebut.
Al-Qurthubi misanya, sebagaimana dikutip oleh Abdul Ghafur Anshori, mengartikan berbuatlah kebajikan atau berbuat baik sebagai sesuatu anjuran dari Allah bagi manusia untuk mengerjakan seluruh amalan kebaikan termasuk di dalamnya mewakafkan harta, jadi ayat tersebut merupakan salah satu ayat tentang pensyari’atan ibadah wakaf (Ghofur, 2006).
Selain ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang mengandung kebaikan agung “yang paling dicintai Allah” dalam bentuk wakaf, juga berdasar pada hadis Nabi yang berkaitan dengan sahabat Umar bin Khattab ketika bertanya kepada Nabi Muhmmad tentang sebidang tanah di Khaibar.
Diceritakan dari Ibnu Umar r.a bahwa Umar bin Khattab memperoleh sebidang tanah dan datang kepada Baginda Nabi Muhammad untuk meminta petuah dan Nabi memberi pilihan kepada Umar bin Khattab. “Jika engkau mau, engkau dapat menahan pokoknya (melembagakan bendanya) dan menyedekahkan bendanya,” kata beliau.
Lalu Umar bin Khattab menyedekahkan tanah tersebut dengan ketentuan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Lebih lanjut, ia berkata bahwa tanah wakaf tersebut hanya untuk orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabîlillah, ibnu sabîl dan tamu. Dan tidak dilarang bagi orang yang menguasai tanah wakaf itu (mengurus) untuk makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta (Muslim, t.t).
Selain itu, terdapat pula hadis populer dikatakan bahwa “apabila seseorang meninggal dunia, terputuslah semua amalnya kecualia tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.
Oleh karena itu, wakaf merupakan sarana ibadah yang, selain mengandung muatan teologis—dalam artian akan mendapat pahala di akhirat kelak yang tidak akan pernah terputus—juga bersifat sosiologis, dapat menjadi sarana kepentingan publik, semisal pembangunan gedung pendidikan, makam umum, fasilitas umum, dan sebagainya.
Dari uraian ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi di atas yang berkaitan dengan wakaf, pada dasarnya kata wakaf sendiri berasal dari kata “alwaqf”. Akar katanya waqafa-yaqifu-waqfan, yang berarti menahan atau menghentikan. Kata ini bersinonim dengan kata al-hubu, jamaknya al-ahbas, dari kata habasa-yahbisu-tahbisan, yang berarti sesuatu yang ditahan atau dihentikan, maksudnya adalah ditahan pokoknya dan dimanfaatkan hasilnya di jalan Allah.
Wakaf menurut istilah syarahnya adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghasikan atau menghasilkan. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian wakaf. Perbedaan cara pandang terhadap wakaf tersebut membawa implikasi pada hukum yang ditimbulkan.
Pertama, Hanafiyah mengertikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapa pun yang dinginkan untuk tujuan kebajikan. Oleh karena itu, menurut Siska Lis Sulistiani, bahwa wakaf dalam pengertian ini, adalah menjelaskan kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan wakif (orang yang mewakafkan harta) itu sendiri (Sulistiani , 2017).
Sementara Malikiyiah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (sighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif. Dalam pengertian ini, masih menurut Sulistiani, wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakif (Sulistiani , 2017).
Berbeda dengan Syafiyiah, wakaf dalam pengertiannya, adalah menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif yang diserahkan kepada Nazhir (petugas wakaf) yang dibolehkan oleh syariah. Maka dalam pengertian ini, harta wakaf harus harta yang kekal materi bendanya, dalam arti bahwa harta wakaf tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara terus-menerus. Terakhir, Hanafiah mendefinisikan wakaf dengan bahasa sederhana, yaitu menahan suatu benda (misalnya tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkannya.
Dari uraian ayat-ayat dan hadis-hadis di atas, bisa kita ketahui bahwa wakaf dalam hukum Islam mempunyai dua arti: arti kata kerja dan arti kata benda. Yang pertama berkaitan dengan tindakan mewakafkan, sementara yang kedua adalah obyek tindakan mewakafkan. Baik dalam arti kata kerja maupun kata benda, pertalian keduanya menyimpulkan pada suatu kedermawanan seseorang (wakif) yang paling dicintai Allah Sang pemilik Segalanya. Apakah kita telah dan masuk di dalam golongan ini?