Status Justice Collaborator Richard Eliezer: Direkomendasikan LPSK, Dimentahkan Jaksa

Kejaksaan Agung, Richard tak layak mendapatkan status justice collaborator.

Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Richard Eliezer saat menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (18/1/2023). Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut terdakwa Richard Eliezer penjara 12 tahun karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Baca Juga


Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai status justice collaborator (JC) untuk terdakwa Richard Eliezer (RE) dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) tak dapat diterima. Status JC terhadap eksekutor, dan pelaku pembunuhan berencana di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan (Jaksel) tersebut, baru sebatas rekomendasi ajudan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana, mengatakan, rekomendasi JC dari LPSK tersebut belum mendapatkan persetujuan dari majelis hakim yang mengadili kasus tersebut.

“LPSK itu cuma merekomendasikan saja. Penetapannya sebagai JC itu ada di hakim. Dan sampai hari ini, hakim tidak ada menetapkan (status terdakwa Richard sebagai JC),” kata Fadil di Gedung Pidum, Kejagung, Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Ketut Sumedana menerangkan, rekomendasi LPSK untuk menjadikan terdakwa Richard sebagai JC, pun cacat kriteria. Ketut mengacu pada dua sumber hukum, Undang-undang (UU) 31/2014 tentang LPSK, dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011 tentang whistleblower, dan JC.

Ketut menjelaskan, Pasal 28 ayat (2) huruf a UU LPSK tak memasukkan tindak pidana pembunuhan berencana sebagai perkara yang membuka peluang pemberian JC terhadap pelakunya. “Bahwa kasus pembunuhan berencana bukanlah termasuk yang diatur dalam pemberian status justice collaborator,” terang Ketut.

JC, kata Ketut menjelaskan, menurut UU LPSK tersebut hanya diberikan kepada pelaku kejahatan, yang melakukan tindak pidana tertentu dan khusus. Terkait tindak pidana tertentu, dan khusus itu, kata Ketut, mengacu pada SEMA 4/2011.

Dalam SEMA, kata Ketut menjelaskan hanya ada enam jenis tindak pidana tertentu, dan khusus yang membuka peluang pemberian status JC. Antara lain, adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang (TPPU), tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan tindak pidana lainnya yang masuk kategori kejahatan ekonomi, atau tindak pidana yang bersifat terorganisir.

Dengan dua dasar legal tersebut, dikatakan Ketut, status JC terdakwa Richard dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, tak sesuai peruntukan. Ketut menambahkan, jikapun rekomendasi JC ajudan LPSK untuk terdakwa Richard tersebut dikabulkan oleh majelis hakim dalam putusannya, pun itu tak dapat dibenarkan.

Sebab dikatakan dia, dasar hukum SEMA 4/2011 tetap punya syarat dalam mengabulkan pemberian status JC. Syarat utama dalam pemberian status JC tersebut, memastikan penerima status JC bukanlah pelaku utama tindak kejahatan. Sementara Richard, kata Ketut, dalam kasus pembunuhan berencana di Duren Tiga 46 adalah salah satu terdakwa utama yang menjadi pelaku, atau eksekutor pembunuhan terhadap Brigadir J. 

“Jadi selain pembunuhan berencana tidak masuk dalam tindak pidana khusus yang menjadi kriteria dalam pemberian justice collaborator, juga, status justice collaborator itu, tidak dapat diberikan kepada pelaku utama tindak kejahatan,” terang Ketut.  

Meskipun begitu, Ketut menjelaskan, rekomendasi LPSK untuk menjadikan terdakwa Richard sebagai JC, patut dihormati. Sebab dikatakan Ketut, LPSK sebagai lembaga negara, sudah menjalankan perannya untuk dapat melindungi pelaku kejahatan, yang bersedia kooperatif selama proses hukum. 

 


 

Dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, Ketut mengatakan, LPSK dapat memberikan keyakinan kepada terdakwa Richard untuk terbuka, dan memberikan kesaksian yang terang terkait peristiwa pidana yang dilakukan, pun yang dialami. Sehingga kata Ketut, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) tetap menjadikan kesaksian terdakwa Richard, juga rekomendasi LPSK sebagai pertimbangan dalam meringankan penuntutan.

“Bahwa rekomendasi dari LPSK terhadap terdakwa Richard sudah kita (jaksa) akomodir dalam penuntutan. Yaitu dengan menuntut ringan selama 12 tahun,” ujar Ketut. 

Menurut dia, tuntutan 12 tahun itu, ringan ketimbang tuntutan jaksa terhadap pelaku utama lainnya dalam kasus pembunuhan Brigadir J tersebut, yakni Ferdy Sambo. Terhadap mantan Kadiv Propam Polri itu, JPU meminta hakim untuk memenjarakan selama seumur hidup.

Sementara untuk tiga terdakwa lainnya, Putri Candrawathi, Kuat Maruf, dan Ricky Rizal, jaksa menuntut ketiganya masing-masing selama 8 tahun penjara. Tuntutan terhadap terdakwa lainnya itu lebih ringan, karena ketiganya adalah bukan pelaku utama dalam pembunuhan berencana itu. 

Ketut menerangkan, meskipun ketiga terdakwa itu tetap terbukti turut serta dalam melakukan pembunuhan, terdakwa Putri, Kuat, dan Ricky tidak melakukan perbuatan yang berujung pada perampasan nyawa terhadap Brigadir J. Pemberatan terhadap ketiga terdakwa itu, karena mengetahui rencana pembunuha itu, namun tidak melakukan upaya untuk menghalangi, atau mencegah, terjadinya pembunuhan di Duren Tiga 46 tersebut.

“Bahwa terdakwa PC, KM, dan RR, tidak secara langsung menyebabkan terjadinya penghilangan nyawa Brigadir Yoshua Hutabarat,” sambung Ketut. 

Pihak LPSK tetap meminta agar JPU mengubah tuntutan 12 tahun penjara untuk Richard agar lebih ringan. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, tuntutan 12 tahun penjara tersebut, tidak sesuai dengan harapan publik yang menghendaki Richard dihukum lebih ringan.

“Jika Jaksa Agung peka dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat, Jaksa Agung bisa merevisi tuntutan terhadap Bharada E (Richard) untuk lebih ringan,” kata Edwin, Kamis (19/1/2023).

Pengacara Ronny Talapessy, pun mengaku tak dapat menerima tuntutan Richard yang lebih berat ketimbang terdakwa Putri, Kuat, maupun Ricky. Menurut Ronny, kliennya itu sudah memberikan masa depannya untuk menguak fakta kejadian yang sebenarnya selama proses penyidikan, maupun persidangan kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

“Sejak awal Richard ini kan sudah konsisten, dan dia kooperatif bekerja sama dengan penyidik di kepolisian, dan jaksa selama persidangan, untuk mendapatkan justice collaborator. Dan itu tidak diperhatikan oleh jaksa dalam penuntutan,” kata Ronny.

Menurut dia, penjelasan JPU tentang peran Richard sebagai pelaku utama pembunuhan, yang membuatnya dituntut 12 tahun, juga tak dapat diterima. Karena menurut Ronny, meskipun Richard mengakui, pun terbukti di persidangan menembak Brigadir J.

Tetapi, perbuatan menembak tersebut bukan berasal dari niat untuk membunuh. Richard, kata Ronny, melepas picu laras senjata api Glock-17 itu, karena atas perintah terdakwa Ferdy Sambo sebagai atasan, yang menjadi dalang utama perencanaan pembunuhan di Duren Tiga 46 itu.

“Kami sebagai penasihat hukum, berbeda pendapat dengan jaksa dalam hal perbuatan ini. Karena perbuatan menembak almarhum Yoshua itu, tidak berdiri sendiri. Fakta di persidangan dibuktikan bahwa itu berdasarkan perintah terdakwa lain, yang tidak bisa dia hindari sebagai bawahan,” kata Ronny.

 

Tuntutan Kasus Pembunuhan Berencana Brigadir J - (infografis Republika)

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler