Selain Konsumsi Protein Hewani, Pantau Berat Badan dan Tinggi Anak untuk Cegah Stunting
Orang tua diminta pantau berat badan dan tinggi anak ke Posyandu demi cegah stunting.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan RI mengampanyekan pentingnya konsumsi protein hewani kepada anak, terutama usia di bawah dua tahun untuk mencegah kasus stunting. "Setelah bayi berusia 6 bulan harus rajin melakukan pengukuran, karena selain ASI eksklusif, juga ada makanan tambahan. Kalau kurang protein hewani, anaknya bisa stunting," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Protein hewani, seperti susu, telur, ikan, dan ayam, kata Budi, efektif mencegah stunting pada anak karena mengandung zat gizi lengkap seperti asam amino, mineral, dan vitamin yang penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan adanya bukti kuat hubungan antara stunting dan indikator konsumsi pangan berasal dari hewan, seperti telur, daging/ikan, dan susu atau produk olahannya seperti keju, yogurt, dan lainnya.
Penelitian tersebut juga menunjukkan konsumsi pangan berasal dari protein hewani lebih dari satu jenis, banyak memberi keuntungan daripada konsumsi pangan berasal dari hewani tunggal. Meski bermanfaat untuk mencegah stunting pada anak, kata Budi, tapi konsumsi protein per kapita masih tergolong rendah.
Data Susenas 2022 menunjukkan rata-rata konsumsi protein per kapita sehari 62.21 gram atau di atas standar 57 gram, tetapi konsumsi telur dan susu 3,37 gram, daging 4,79 gram dan ikan, udang, cumi, kerang berkisar 9,58 persen. Ia pun berharap peringatan Hari Gizi Nasional ke-63 tahun 2023 yang mengusung tema 'Protein Hewani Cegah Stunting' dengan slogan 'Protein Hewani Setiap Makan', dan 'Isi Piringku Kaya Protein Hewani', menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk melakukan upaya pencegahan stunting melalui pemenuhan gizi seimbang pada anak.
"Tidak hanya memberikan protein hewani pada anak, berat dan tinggi badan anak juga harus dipantau secara berkala di Posyandu. Ini penting untuk melihat keberhasilan intervensi sekaligus upaya deteksi dini masalah kesehatan gizi sehingga tidak terlambat ditangani," katanya.
Kasus stunting masih menjadi masalah kesehatan serius yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia di angka 21,6 persen.
Jumlah itu menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 24,4 persen. Walaupun menurun, angka tersebut masih tinggi, mengingat target prevalensi stunting pada 2024 sebesar 14 persen dan standar WHO di bawah 20 persen.
Budi mengatakan, angka stunting tersebut disebabkan berbagai faktor, salah satunya karena kurangnya asupan penting seperti protein hewani, nabati dan zat besi sejak sebelum sampai setelah kelahiran. Hal ini berdampak pada bayi lahir dengan gizi yang kurang, sehingga anak menjadi stunting.