Sepasang Elang Jawa, Parama dan Jelita Kini Terbang Bebas di Habitatnya

Parama dan Jelita merupakan sepasang elang jawa hasil pengembangbiakan PSSEJ dan TSI.

Shabrina Zakaria/Republika
Plt Bupati Bogor Iwan Setiawan dalam acara pelepasan Elang Jawa.
Rep: Shabrina Zakaria Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah kabut dan dinginnya udara Bogor, Parama dan Jelita kini bisa terbang bebas. Begitu tali yang mengikat kaki keduanya dilepaskan, sayap keduanya langsung mengepak lebar. Kemudian terbang bersama ke habitat alamnya di bentang alam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).


Parama dan Jelita merupakan sepasang elang jawa hasil pengembangbiakan secara in-situ dan ex-situ dari Pusat Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) dan Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor. Keduanya telah menjalani proses habituasi.

Parama, elang jawa berjenis kelamin jantan lahir secara alami di kandang rehabilitasi hibah PT PPLI di PSSEJ, yang dikelola oleh Balai TNGHS di Desa Loji, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Ia menetas di Balai TNGHS pada 8 Juli 2020.

Usai menetas, Parama melewati masa pelatihan selama dua tahun. Hingga akhirnya ia siap dilepasliarkan saat menginjak usia dua tahun tujuh bulan.

Sedangkan Jelita merupakan elang jawa berjenis kelamin betina, yang menetas pada 14 Oktober 2020. Bobot pertama Jelita saat menetas kala itu adalah 49,4 gram.

Jelita lahir dari hasil breeding atau penangkaran, yang dilakukan TSI Bogor di kandang pengembangbiakan yang dibangun oleh PT Smelting. Serta telah melewati tahapan habituasi di kandang pelatihan. Kini usia Jelita saat dilepasliarkan sudah menginjak dua tahun empat bulan.

Perawat satwa di TSI dan PSSEJ telah melakukan pemantauan perilaku terhadap Jelita dan Parama. Ada lima kriteria dan indikator yang selama ini diterapkan untuk melihat kesiapan elang untuk dilepasliarkan.

Kelima aspek penilaian ini, di antaranya agresifitas dan keliaran, kemampuan berburu mangsa, makan, terbang dan merawat diri dan dilakukan scoring. Elang jawa yang siap dilepasliarkan paling tidak mempunyai nilai 400 poin dari kelima aspek penilaian tersebut.

Jelita telah memenuhi aspek-aspek tersebut. Selama kurun waktu tiga bulan, elang jawa betina ini telah dihabituasi dalam kandang pelatihan dan dipantau perilaku serta kesehatannya secara rutin. Sedangkan Parama telah melewati pelatihan selama dua tahun di PSSEJ dan telah siap untuk dilepasliarkan dengan skor penilaian perilaku terakhir sebesar 465 poin.

 

Kepala Balai TNGHS, Wasja, menjelaskan sebelum Parama dan Jelita dilepasliarkan, keduanya juga melalui beberapa rangkaian prosedur pelepasliaran. Di antaranya pengecekan kesehatan satwa oleh tenaga medis, melakukan penilaian perilaku satwa dan kajian kesesuaian habitat.

“Berdasarkan hasil kajian habitat dan ground check yang telah dilaksanakan, areal hutan Vila Hijau ini dinilai cocok berdasarkan beberapa kriteria, diantaranya kondisi habitat, keberadaan pesaing, aksesibilitas dan potensi keberadaan pakan, serta lokasinya yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP,” kata Wasja di Vila Hijau TSI, Kabupaten Bogor, Senin (30/1/2023).

Parama dan Jelita pun tidak dilepas begitu saja. Setelah dilepasliarkan ini, Jelita dan Parama tetap akan tetap menjalani monitoring melalui alat deteksi selama enam bulan ke depan.

Di masing-masing tubuhnya, keduanya dipasang Platform Transfer Terminal (PTTs) dengan jenis PinPoint Solar GPS- Argos dengan berat 21 gram. Langkah ini diambil untuk mendeteksi kondisional kedua satwa langka kebanggaan Indonesia ini di alam bebas.

Sehingga, bisa diketahui Parama dan Jelita suka bergerak ke mana saja. Apakah senang berada di area tepi hutan, atau masuk ke dalam hutan. Bahkan mencari elang lainnya untuk berkembangbiak dan membangun sarang.

GPS tersebut juga bisa dimanfaatkan oleh perenca konservasi, di area mana aja yang perlu dikonservasi. Atau nanti area mana saja yang perlu direhabilitasi, agar habitat elang jawa bisa semakin bagus lagi.

Diharapkan, Parama dan Jelita bisa bertahan di alam liar. Sehingga data-data yang diperoleh bisa digunakan untuk kegiatan perencanaan konservasi yang lebih baik lagi.

 

Direktur Konservasi Keanekaraman Hayati pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Indra Eksploitasia Semiawan, menyebutkan elang merupakan bagian dari sekitar 1.600 burung yang ada di Indomesia. Dimana 300 di antaranya merupakan hewan endemik, dan 500 di antaranya telah dilindungi Peraturan Menteri LHK Nomor 106/2018.

Elang jawa sendiri di Indonesia telah masuk ke dalam status endangered atau dilindungi. Dari hasil studi, pernah dinyatakan populasi elang jawa di Indonesia ada 700 ekor atau sekitar 300 pasang. Lantaran elang jawa bersifat monogami dan berada di wilayah Pulau Jawa saja.

Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat yakni Taman Nasional Ujung Kulon hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo (Alas Purwo). Namun penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan.

Elang jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 meter dan kadang-kadang 3.000 mdpl.

Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia. Agaknya burung ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai habitat hidupnya.

Dalam tahun ini, pelepasliaran Parama dan Jelita menjadi pelepasliaran elang pertama di Indonesia. Namun, pada 2020 hingga 2022 sudah ada sekitar 30 ekor elang yang telah dilepasliarkan. Baik dari hasil konflik satwa, maupun hasil breeding.

“Jadi alasan kita mengapa kita meningkatkan populasi, yakni dengan melakukan pelepasliaran. Seluruh elang, tidak hanya elang jawa,” kata Indra mewakili Menteri LHK.

Direktur TSI, Jansen Manangsang, menambahkan pihaknya masih memiliki beberapa ekor elang jawa lagi yang dirawatnya. Ke depan, tidak hanya elang jawa, TSI juga akan melepasliarkan hewan lainnya seperti komodo.

 

“Sebentar lagi mungki beberapa kita akan lepas komodo yang berhasil kita tangkarkan di sini ada 6 ekor komodo kita akan lepaskan di tempat alam asli liar di Nusa Tenggara Timur (NTT),” tutur Jansen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler