Proporsional Tertutup dan Ancaman Terhadap Otonomi Daerah

Akankah sistem pemilu kembali ke masa Orde Baru

Istimewa
Presiden Soeharto memasukkan surat suara ke dalam kotak suara pada pemilu 1977. ANTARA/IPPHOS Baca selengkapnya di artikel
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sabar Sitanggang, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sibermu Yogyakarta


Artikel ini ditulis bukan untuk provokasi. Setelah reformasi 1998 yang menumbangkan rezim sentralistik Orde Baru, praktik otonomi daerah secara otentik dan komprehensif yang memberi ruang bagi perkembangan demokrasi dan politik di tingkat lokal dapat dirumuskan. Otonomi daerah yang merupakan anak kandung desentralisasi sebenarnya adalah khas pemberian negara, yakni pemberian kewenangan mengelola kebijakan dan keuangan oleh pengelola negara di tingkat nasional kepada pengelola negara di tingkat lokal, serta memperkuat local accountability.

Dalam perkembangannya, penguatan local accountability merambah ke ranah politik lokal yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh lokal, bukan saja di daerahnya masing-masing, namun juga di tingkat nasional sebagai legislator. Fenomena yang dikenal sebagai ‘Desentralisasi Politik’ ini terus berjalan sampai pemilu tahun 2019. Hal ini dimungkinkan karena sistem pemilu yang digunakan memang memberi peluang bagi munculnya tokoh lokal.

Desentralisasi politik telah membawa dampak yang menarik bagi perubahan dan dinamika politik di daerah dan Pusat. Para legislator daerah dan pusat dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui proses pemilu yang lebih demokratis. Kebijakan desentralisasi yang berkembang di tengah liberalisasi politik telah memungkinkan proses rekruitmen politik di daerah yang semakin terbuka bagi partisipasi masyarakat. Liberalisasi politik telah menempatkan partai politik memainkan peran sentral dalam proses rekruitmen politik di daerah. Desentralisasi politik dalam perjalanannya ditandai oleh menguatnya sistem pemilu yang lebih menjamin rasa keterwalikan dengan proporsional terbuka yang secara teoretis dapat menciptakan lembaga perwakilan di daerah yang lebih efektif melalui legislator-legislator yang dekat dengan konstituen.

Namun, di sisi lain, dengan beberapa alasan seperti maraknya praktik politik uang dan munculnya legislator non-kader, dan tumbuhnya politik bosisme, sejumlah orang dan partai politik mengajukan proposal untuk kembali ke sistem proporsional tertutup. Suatu sistem yang sangat terkenal dan sangat disukai oleh rezim Orde Baru ini, yang dalam praktik dan sejarahnya melahirkan bukan saja sistem partai yang sentralistik, yang hanya membuka peluang bagi intervensi elit-elit politik nasional di daerah. Bahkan, menyuburkan praktik KKN, khususnya Nepotisme.

 

 

Pilihan pada Proporsional Terbuka

Secara sederhana, suatu sistem pemilu mencakup tiga hal pokok. Pertama, sistem pemilihan itu sendiri. Ini berhubungan dengan sistem, yang secara kasar digolongkanke dalam sistem proporsional dan sistem distrik dengan segala variasinya. Kedua, kelembagaan penyelenggara pemilu. Apakah pemilu akan dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah, badan swasta, atau badan independen yan berada di luar eksekutif. Ketiga, proses pemilihan. Apakah calon dipilih langsung oleh rakyat atau secara bertingkat (Yusril Ihza Mahendra, 1996: 217).

Sejak pemilu pertama diselenggarakan pada tahun 1955 hingga pemilu tahun 2019, Indonesia telah memilih proporsional sebagai sistem pemilihannya. Bahkan proporsional yang dipilih adalah proporsional tertutup, setidaknya sampai pemilu tahun 1999. Mulai Pemilu tahun 2004 sampai Pemilu 2019, sistem pemilihan yang digunakan dalam pemilu adalah proporsional terbuka, dimana pemilih tidak saja memilih semata tanda gambar partai, tapi juga mencoblos (atau mencontreng) nama calon anggota legislatif yang disukainya. Dan kandidat peraih suara terbanyak dalam daftar yang diajukan oleh partai di setiap dapillah yang terpilih dan ditetpkan.

Dalam praktik dan hasil pemilu yang diperoleh, ternyata rakyat cukup mampu melaksanakan sistem ini, dan di banyak daerah pemilihan terpilih calon legislatif yang merupakan orang-orang daerah, mengungguli calon Pusat yang diajukan oleh Pimpinan Pusat Partai. Dengan kata lain, calon yang mendapat suara terbanyak dan akan ditetapkan sebagai calon terpilih, bila partai yang mencalonkannya meraih kursi di dapil itu, adalah calon yang dekat dengan rakyat pemilih. Dus, munculnya legislator pusat yang berasal dari daerah, merupakan sumber daya daerah yang memang mewakili daerah pemilihannya merupakan perwujudan dari semangat penguatan akuntabiltas lokal yang merupakan salah satu cita-cita desentralisasi melalui otonomi daerah. 

Di sisi lain kedekatan legislator yang terpilih dengan rakyat –sebagai buah dari proporsional terbuka, akan meningkatkan kontrol oleh rakyat dengan wakilnya di legislatif. Dengan demikian, calon legislator yang dicalonkan oleh partai akan menjadi wakil rakyat yang konkret karena mewakili konstituen-konstituen tertentu.

 



 

Mengapa Menolak Proporsional Tertutup?

Mengapa kita harus menolak untuk kembali pada sistem proporsional tertutup? Jawaban singkat yang perlu disampaikan adalah asas kedaulatan rakyat. Pertanyaan mendasar yang harus sama-sama dijawab adalah, “Legislator itu wakil rakyat atau wakil partai?” atau yang lebih filosofis, “Siapakah sebenarnya yang berdaulat, rakyat atau partai?”, “Siapakah yang diwakili oleh lagislator itu, rakyat atau partai?” Persoalannya menjadi semakin pelik. Ini semata-mata persoalan sistem pemilu. Sistem proporsional tertutup, akan membuat wakil rakyat terisolir dari rakyat yang memilihnya. Rakyat tampil secara abstrak dan karenanya kurang berdaya. Sementara Pimpinan Pusat Partai adalah sosok konkret sehingga mereka menjadi perkasa.

Sistem proporsional tertutup yang meminta rakyat memilih tanda gambar partai tanpa peduli siapa yang mereka pilih menjadi anggota legislatif itu, sejatinya akan menjauhkan rakyat dari wakilnya, yang pada akhirnya meningkari asas kedaulatan rakyat. Sekurang-kurangnya, kedaulatan rakyat menjadi semu.

Satu hal yang menjadi ikutan logis dari sistem proporsional tertutup, dimana dominasi penuh pimpinan pusat partai, adalah lahirnya mekanisme Recall. Dan cerita paling heroik tentang recall terhadap angggota DPR yang dianggap “mbalelo” terhadap partai adalah ‘Recall Bambang Warih dari DPR’. Sistem proporsional tertutup memandang bahwa anggota legislatif tidak bersifat individual. Pimpinan Pusat Partai mencalonkan, rakyat tinggal memilih tanda gambar partai. Siapakah orangnya, menjadi kurang penting. Oleh karena itu, adalah “hak prerogatif” partai untuk me-recallanggotanya, kapan saja dan dengan alasan apa saja. Kondisi dan tindakan pimpinan partai seperti ini tidak dapat digangu gugat oleh pihak-pihak lain, karena recall semata-mata adalah “masalah intern” partai.

Berangkat dari hal-hal tersebut di atas, kita berharap agar Mahkamah Konstitusi yang sedang mengadili permohonan judicial review UU Pemilu, khususnya terkait dengan sistem proporsional tertutup, yang diajukan oleh perorangan dan partai politik, bisa melihat dan mempertimbangan lebih luas dan mengambil keputusan yang seadil-adilnya, dalam arti adil bagi sebanyak-banyak kepentingan rakyat. Reformasi telah mengamanatkan agar Indonesia menjadi lebih baik, begitupun dalam praktik demokrasinya. Tekad Indonesia menggunakan sistem terbaik dalam Pemilu yang mampu mengartikulasikan jiwa dan semangat konstitusi serta keinginan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat, sebaiknyalah lebih diutamakan daripada mengembalikan kepada status quo dominasi pimpinan partai yang kurang menjanjikan. Di sisi lain, munculnya sebanyak mungkin sumber daya manusia dari daerah sebagai legislatir harus terus diupayakan dan dijaga. Demokrasi memang mahal dan sulit, sehingga kita harus mencapainya dengan segala i’tikad baik walaupun memerlukan waktu yang agak panjang.

Dan dalam perspektif desentralisasi politik, yang telah jauh berkembang seiring perkembangan otonomi daerah itu sendiri, selama lebih dari dua dasawarsa sebagaimana terkandung dalam semangat UU No. 22/1999, UU No. 32/2004, UU No. 8 Tahun 2005, UU No. 12 Tahun 2008, dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pembangunan sistem pemilu yang lebih baik, yang mengakomodir semaksimal mungkin sumber daya daerah, perlu terus ditingkatkan, dan bukan sebaliknya set back!

 



BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler