Amnesty Indonesia Desak KKB Bebaskan Sandera dan Pilot Susi Air
Amnesty mencatat ada 15 sandera yang saat ini diyakini dalam penguasaan KKB.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amnesty Internasional Indonesia mengecam tindakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua yang melakukan penyerangan dan penyanderaan terhadap warga sipil di wilayah Nduga, Papua Pegunungan. Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid mendesak agar Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) segera membebaskan para sandera.
Termasuk Kapten Philips Max Marthin, pilot armada penerbangan sipil Susi Air. Usman mendesak agar KKB maupun pihak TPNPB melepaskan semua sandera dengan kondisi hidup.
“Kami (Amnesty Internasional) mengecam keras serangan terhadap warga dan objek sipil di Papua. Kami mendesak agar pilot dan sejumlah orang lainnya yang disandera, segera dibebaskan dalam keadaan selamat,” kata Usman Hamid dalam siaran pers resmi Amnesty Indonesia, yang diterima Republika.co.id, di Jakarta, Rabu (8/2/2023).
Amnesty Indonesia, kata Usman Hamid, juga meminta pemerintah Indonesia, memberikan respons positif demi keselamatan para sandera. Dan agar segera mengevaluasi pola pendekatan kekerasan dalam menghadapi situasi keamanan, maupun konflik yang terjadi di Bumi Cenderawasih.
“Kami juga meminta para pihak yang berkonflik untuk menghormati hukum, dan hak asasi manusia, serta kemanusian, dan juga hukum internasional. Semua pihak harus mengutamakan jalan nonkekerasan demi menyelamatkan warga sipil,” ujar Usman Hamid.
Laporan dari Amnesty Indonesia, tercatat ada 15 sandera yang saat ini diyakini dalam penguasaan KKB. Belasan sandera tersebut, dikatakan sebagai pekerja proyek Puskesmas di Kabupaten Nduga. Belasan sandera tersebut, di luar satu warga negara asing, Kapten Philips Max Marthin, pilot berkebangsaan Selandia Baru, yang mengawaki pesawat penerbangan sipil milik maskapai Susi Air.
Pesawat tersebut terbang dari Bandara Mozes Kilangin, membawa lima penumpang, pada Selasa (7/2/2023) pagi waktu setempat. Para penumpang yakni, atas nama Demanus Gwijangge, Minda Gwijangge, Pelenus Gwijangge, Meita Gwijangge, dan Wetina W.
Pesawat tersebut tiba di Lapangan Udara Paro, di Distrik Paro, Nduga, di Papua Pegunungan. Namun pesawat diserang dan dibakar KKB yang dipimpin Egianus Kagoya. Nasib lima penumpang tersebut, sampai saat ini masih simpang siur keselamatan, maupun keberadaannya.
Tetapi Kapten Philips dinyatakan dalam penawanan kelompok gerilyawan bersenjata itu. TPNPB-OPM Papua mengaku bertanggungjawab atas serangan, maupun penyanderaan tersebut.
Usman Hamid melanjutkan, dalam catatan Amnesty Indonesia aksi penyanderaan yang terjadi di Papua oleh kelompok perlawanan bersenjata bukan sekali ini terjadi. Pada 2017 aksi penyerangan, maupun penyanderaan terhadap 1.300 warga sipil pernah terjadi di Desa Kimbely dan Desa Banti, di Mimika.
Menurut Amnesty Indonesia, pengulangan peristiwa penyerangan, maupun penyanderaan tersebut menunjukkan situasi keamanan, dan konflik di Papua yang masih belum menunjukkan arah perbaikan. “Insiden pembakaran objek sipil, dan penyanderaan ini, sekali lagi menjadi bukti berulangnya kekerasan di wilayah Papua secara terus-menerus,” ujar Usman Hamid.
Menurutnya, kedua belah pihak bertikai, pasukan keamanan Indonesia maupun TPNPB-OPM Papua seharusnya memertimbangkan dampak ke masyarakat sipil yang menjadi korban atas aksi-aksi yang dilakukan. “Kami menyerukan, adanya peninjauan ulang atas pendekatan yang selama ini dipilih oleh negara, dan semua pihak lebih mengutamakan jalan nonkekerasan,” tegas Usman.
Juru Bicara TPNPB-OPM Papua Sebby Sambom mengaku kelompoknya bertanggung jawab atas penyerangan dan aksi penyanderaan sejumlah orang di Distrik Paro, Nduga. Menurutnya serangan dan pembakaran pesawat Susi Air yang berbendera Indonesia, adalah sebagai bentuk perang terhadap Indonesia.
Sebby memastikan, TPNPB-OPM Papua tak akan melepaskan sandera, terutama pilot berkewarganegaraan Selandia Baru. Dia mengatakan pelepasan sandera tersebut hanya bisa terjadi, jika pemerintah Indonesia, mengakui kemerdekaan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kami TPNPB Kodap III Ndugama, Derakma, tidak akan pernah kasih kembali atau kasih lepas pilot yang kami sandera ini. Kecuali NKRI mengakui, dan lepaskan Papua dari negara kolonialnya,” kata Sebby.