AS Kembangkan Vaksin Buat Bantu Atasi Ketergantungan Fentanil
AS tengah menghadapi krisis fentanil.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti University of Houston, Texas, Amerika Serikat mengklaim bahwa mereka telah berhasil mengembangkan vaksin fentanil. Dapat menghalangi opioid sintetik memasuki otak, vaksin ini digadang sebagai terobosan dalam pengobatan kecanduan obat antinyeri golongan opioid tersebut.
"Tidak diragukan lagi. Kami mengembangkan sesuatu yang merupakan game changer baru," kata Dr Colin Haile, profesor riset psikologi di University of Houston dan Texas Institute for Measurement, Evaluation, and Statistics, dikutip dari Fox News, Kamis (9/2/2023).
Vaksin fentanil, menurut Haile, menjadi strategi yang sangat berbeda dalam merawat individu dengan gangguan penggunaan opioid. Vaksin juga bekerja dengan cara yang jauh berbeda dengan perawatan lain untuk gangguan penggunaan opioid.
Vaksin ini pada dasarnya menghasilkan antibodi seperti vaksin lain yang membuat antibodi terhadap virus atau bakteri. Vaksin baru ini melakukan hal yang sama, yakni dengan menghalangi fentanil memasuki otak pengguna, menyimpannya di dalam darah, baru kemudian mengeluarkannya dari tubuh.
Agar fentanil tetap di dalam darah, peneliti menggunakan protein sebagai pengikat sebelum dikeluarkan melalui ginjal. Vaksin tersebut menyembuhkan kecanduan dengan menghilangkan euforia tinggi.
"Ini mirip dengan vaksin hepatitis B, yakni vaksin merangsang tubuh untuk membuat antibodi melawan fentanil," kata Haile.
Tanpa vaksin, fentanil cukup mudah menembus otak, merangsang pusat euforia dan juga merangsang bagian otak yang mengontrol pernapasan hingga menyebabkan overdosis bahkan kematian. Pengujian pada tikus besar dan tikus laboratorium menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan. Haile meyakini peneliti akan melihat temuan yang sama ketika percobaan pada manusia dimulai dalam beberapa pekan mendatang.
"Kami telah melakukan studi ekstensif pada tikus dan efek vaksinnya cukup dramatis," katanya.
Peneliti yakin vaksin ini bisa tersedia untuk umum dalam waktu dua tahun. Mengingat vaksin tersebut sudah terdiri dari komponen-komponen yang sudah ada di pasaran dan telah diuji pada manusia, peneliti berharap proses persetujuannya dipercepat oleh FDA.
Haile dan timnya mulai mengerjakan vaksin sekitar enam tahun yang lalu ketika peningkatan kematian akibat overdosis yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai muncul. Vaksin dikembangkan dari dua protein yang sudah digunakan dalam perawatan vaksin lainnya.
Fentanil dan opioid sintetik lainnya telah menjadi penyebab utama kematian akibat overdosis di AS. Diperkirakan lebih dari 110 ribu kematian terjadi antara Agustus 2021 dan Agustus 2022, rekor mencengangkan untuk satu periode 12 bulan.
Krisis fentanil
Dengan lebih dari 150 orang meninggal setiap hari karena overdosis opioid sintetik, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), vaksin tersebut hadir di saat yang genting. Soalnya, krisis obat-obatan tengah mencengkeram masyarakat.
"Sayangnya, mulai sekitar 10 tahun yang lalu atau lebih, pembuatan fentanil meningkat, dan menjadi bagian arus utama dalam pasar obat terlarang, untuk pertama kali melihatnya menjadi bagian dari pasokan obat dan baru-baru ini, sepenuhnya. mengambil alih untuk opioid terlarang lainnya," kata Dr Wilson Compton, Wakil Direktur Institut Nasional Penyalahgunaan Narkoba, yang berkonsultasi dengan tim peneliti Dr Haile.
Compton menyebut penggunaan heroin menurun di banyak bagian negara karena fentanil lebih murah dan mudah diselundupkan, namun menghasilkan efek otak yang sama. Pengembangan vaksin didanai oleh Departemen Pertahanan.
Dr Haile menunjukkan bahwa vaksin ini bekerja lebih abik bagi mereka yang telah menjalani detoksifikasi karena akan mencegah kekambuhan. Vaksin fentanil ditujukan bagi individu yang ingin berhenti madat, bukan bagi yang tidak ingin berhenti.
Seseorang yang divaksinasi, tetapi tidak ingin berhenti dari kecanduan opioid, dapat menggunakan obat lain, obat opioid lain, atau hanya obat lain yang tidak ditargetkan oleh antibodi vaksin.