Menanti Perlindungan Hukum Bagi PRT
RUU PPRT diharapkan dapat segera diketok anggota dewan.
REPUBLIKA.CO.ID, Dewi masih mengingat berbagai kenangan pahit ketika bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) pada 2014 di Jakarta. Dewi bahkan pernah mengonsumsi makanan sisa majikannya.
Hal tersebut disampaikan Dewi sebagai perwakilan Jaringan Advokasi Nasional (JALA) PRT dalam konferensi pers yang digelar Komnas Perempuan terkait peringatan Hari PRT Nasional yang jatuh pada 15 Februari. Dewi amat berharap derajat PRT dapat meningkat agar tak selalu direndahkan di hadapan majikan.
"Saya dikasih makanan sisa, padahal kalau saya makannya baik kan bisa kerja dengan baik juga. Itu makanan saya yang masak loh sebenarnya," kata Dewi.
Dewi memang disediakan kamar untuk beristirahat oleh sang majikan. Tapi kamarnya pernah bocor dan tak pernah diperbaiki. Kondisi itu membuatnya tak nyaman. Dalam urusan penggajian, Dewi pun pernah dirugikan atas kesepakatan sepihak. "Tadinya gaji Rp 2 juta, tapi dibikin aturan baru gaji saya jadi Rp1 juta karena majikan ambil dua PRT," ujar Dewi.
Turunnya gaji Dewi ternyata tak sejalan dengan beban kerjanya. Sebab beban kerjanya justru bertambah ketika PRT tambahan di rumah majikannya tak datang bekerja. "Pekerjaan jadi ditumpuk kalau pekerja yang satu itu nggak datang," ucap Dewi.
Dewi tentu bukan satu-satunya PRT yang terdampak buruknya perlakuan majikan. Berdasarkan data JALA PRT sepanjang 2017-2022, terdokumentasikan setidaknya 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT seperti kekerasan ekonomi (tidak digaji, dipotong agen semenamena), kekerasan psikis, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual.
Oleh karena itu, dengan nada lirih, Dewi menantikan pengesahan Rencana Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). RUU itu sudah mandeg sepanjang 19 tahun. DPR RI yang sejak 2004 mengusulkan RUU PPRT sebagai inisiatif legislatif justru tak kunjung mengesahkannya dengan berbagai alasan.
"Saya terimakasih atas perhatian semuanya kepada nasib PRT dan mohon dibantu agar RUU ini bisa disahkan," ujar Dewi.
Komnas HAM pada tahun 2021 telah melakukan pengkajian dan penelitian tentang pekerjaan yang layak bagi PRT dan urgensi pengesahan RUU PPRT sebagai undang-undang. Berdasarkan hasil kajian tersebut, Komnas HAM berkesimpulan dibutuhkan regulasi yang melindungi PRT dalam bentuk undang-undang.
"Ini untuk dapat mendorong kondisi HAM yang kondusif bagi penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak PRT," kata Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah.
Anis juga memandang kehadiran UU Perlindungan PRT akan memberikan sejumlah manfaat. Diantaranya, kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja; mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT; mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan dan keadilan; meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT; dan meningkatkan kesejahteraan PRT.
"Komnas HAM mendukung percepatan pengesahan RUU PPRT yang berlandaskan pada penghormatan HAM dan mendorong proses pembahasan yang partisipatif," ucap Anis.
Sedangkan Komnas Perempuan mencatat PRT paling banyak adalah perempuan yang secara khusus memiliki kerentanan untuk menjadi korban diskriminasi dan kekerasan. Apalagi, pengakuan dan pelindungan terhadap PRT dari pemerintah belum maksimal.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2005-2022 mengidentifikasikan adanya 2.344 kasus kekerasan terhadap PRT yang dilaporkan oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan. Sementara itu, Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung sebanyak 29 kasus PRT periode tahun 2017-2022, dengan bentuk kekerasan yang beragam seperti kekerasan fisik hingga gaji yang tidak dibayar.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mendukung pengesahan RUU PPRT guna menjamin pengakuan dan perlindungan PRT. Ia menegaskan pengesahan RUU PPRT berdampak terhadap pengakuan PRT sebagai pekerja, memberikan pelindungan terhadap PRT termasuk pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja, sekaligus juga pengaturan terhadap pemberi kerja dan penyalur kerja.
Komnas Perempuan mengeluarkan rekomendasikan agar DPR RI segera mengesahkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR. "Meminta Fraksi-Fraksi di Badan Legislasi DPR RI untuk terus berkomitmen, berpihak, dan berupaya dalam melindungi warga negara khususnya perempuan PRT yang merupakan bagian dari kelompok rentan dan memberikan dukungan pengesahan RUU PPRT," ujar Andy.
Komnas Perempuan juga merekomendasikan Pemerintah dan DPR RI membuka ruang partisipasi substantif masyarakat dalam pembahasan RUU PPRT. "Mendorong Tim Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU PPRT melakukan komunikasi secara aktif dengan DPR dan melakukan dialog dengan Lembaga-Lembaga Negara Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Sipil untuk memperkuat substansi RUU PPRT," ujar Andy.
Nasib UU PPRT sebenarnya mendapat angin segar pada 19 Januari 2023. Saat itu, Presiden Joko Widodo memberikan dukungan untuk adanya payung hukum terhadap perlindungan PRT yang selama ini masih rentan kehilangan hak-haknya sebagai tenaga kerja di sektor domestik. Oleh karenanya, untuk mempercepat penetapan UU PPRT, Presiden Joko Widodo memerintahkan Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Ketenagakerjaan segera melakukan koordinasi dengan DPR dan seluruh stakeholder yang terlibat.
Nyaris sebulan berselang, angin segar dari Presiden Jokowi masih sekedar menjadi harapan kosong. Lalu mau sampai kapan RUU PPRT tertunda?.