Mengenal Demensia Frontotemporal, Gangguan Saraf yang Diderita Bruce Willis

Aktor Bruce Willis menderita demensia frontotemporal.

EPA
Aktor Bruce Willis menderita demensia frontotemporal.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pekan ini, pihak keluarga mengumumkan bahwa aktor Bruce Willis terdiagnosis dengan demensia frontotemporal (FTD). Diagnosis ini ditegakkan setelah setahun sebelumnya Willis mengalami kesulitan untuk bicara, membaca, serta menulis.

Apa itu sebenarnya demensia frontotemporal? FTD merupakan istilah yang mewakili sekelompok gangguan pada otak yang umumnya mempngaruhi bagian lobus frontal dan temporal, menurut Mayo Clinic. Area otak ini umumnya berkaitan dengan kepribadian, perilaku, dan kemampuan bahasa.

Baca Juga



"FTD bisa mempengaruhi perilaku, kepribadian, bahasa, serta gerakan (si penderita)," jelas Johns Hopkins Medicine, seperti dilansir Fox News, Ahad (19/2/2023).

Kasus FTD lebih umum ditemukan pada pria dan wanita dalam rentang usia 40-65 tahun. Johns Hopkins Medicine mengungkapkan bahwa gejala FTD yang muncul bisa berbeda-beda pada tiap pasien, bergantung pada area otak yang terdampak.

Terlepas dari itu, ada beberapa gejala umum yang dapat menjadi indikator dari FTD. Gejala tersebut adalah perubahan kepribadian atau perilaku yang bisa tercermin dalam berbagai bentuk.

Sebagai contoh, penderita FTD bisa menunjukkan amarah yang meledak-ledak di publik atau melakukan tindakan yang tak pantas secara sosial. Mereka pun cenderung memiliki kemampuan membuat penilaian yang buruk.

Selain itu, penderita FTD bisa kurang memiliki empati atau kurang mawas diri. Hilang minat terhadap sesuatu yang sebelumnya disukai atau menarik diri secara emosional dari teman atau keluarga juga kerap ditemukan pada penderita FTD.

Gejala umum lain yang juga dapat menjadi indikator FTD adalah penurunan kemampuan dalam memahami atau memformulasikan bahasa. Penderita FTD pun bisa mengalami kesulitan dalam menyusun rencana dan mengorganisir, serta mudah terdistraksi.

Tak jarang, kondisi ini membuat penderita FTD menjadi lebih jarang bicara karena frustasi. Namun, akibatnya, pasien bisa mengalami agitasi, mudah marah, dan perubahan suasana hati yang cepat.

"Sebagian besar orang tak menyangka demensia dimulai saat mereka berusia 50-an," kata Wakil Presiden di Bidang Pengembangan Klinis dan Neurologi di Alector di AS, dr Tiffany Chow.

Menurut dr Chow, tanda-tanda awal FTD bisa tak begitu signifikan sehingga disalahartikan sebagai fase krisis paruh baya. Hal ini membuat penderita FTD tak segera mencari pertolongan medis yang sebenarnya mereka butuhkan.

"Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam, dari normal menjadi penuh keterbatasan secara konsisten," jelas dr Chow.

Mendiagnosis FTD juga bukan hal yang mudah dilakukan. Bila dokter tak waspada terhadap kemungkinan FTD, penderita FTD kemungkinan akan didiagnosis dengan masalah kejiwaan atau masalah krisis paruh baya.

Selain itu, menilai perubahan fungsi lobus frontal juga lebih rumit. Dokter juga kerap membutuhkan bantuan dari orang terdekat pasien yang bisa memberikan pemahaman mengenai kondisi pasien saat sebelum perubahan kemampuan sosial mereka berubah.

"Gangguan ini sangat berbeda dari penyakit Alzheimer (jenis demensia paling umum), karena ada tes daya ingat dan tes cairan serebrospinal yang bisa membantu menegakkan diagnosisnya," ujar dr Chow.

Meski tak ada tes diagnostik yang universal untuk FTD, ada skrining genetik yang bisa memberikan peringatan kepada orang-orang yang berisiko. Alasannya, sekitar 40 persen pasien memiliki mutasi genetik yang serupa.

Dr Chow mengatakan tes genetik ini sangat membantu dalam mendiagnosis perilaku FTD serta primary progressive aphasia (PPA). Kondisi ini kerap mengganggu kemampuan pasien dalam berbahasa.

Hingga saat ini, belum ada obat yang bisa menyembuhkan FTD. Kondisi pasien FTD cenderung akan menurun seiring dengan berjalannya waktu.

Meski begitu, sejumlah terapi dan pengobatan bisa diberikan kepada pasien untuk meringankan gejala. Beberapa contohnya adalah terapi bicara dan penggunaan obat antidepresan.

Selain Itu, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menurunkan risiko FTD dan demensia lainnya. Sebagian dari upaya tersebut adalah memperbaiki gaya hidup, menghindari trauma pada kepala, serta menerapkan beragam perilaku yang dapat memelihara kesehatan otak dan jantung.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler