Atasi Trauma Kekerasan Seksual, Anak Butuh Intervensi Berkala
Korban kekerasan seksual mengalami dampak psikologis jangka panjang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog klinis Feka Angge Pramita mengatakan anak yang menjadi korban kekerasan seksual membutuhkan intervensi secara berkala. Dengan begitu, trauma atas pengalaman negatifnya dapat teratasi.
"Bagi korban yang dirasakan adalah dampak psikologis jangka panjang sehingga membutuhkan intervensi secara berkala hingga pengalaman yang dirasakan negatif tersebut teratasi traumanya," kata dia melalui pesan elektroniknya kepada Antara di Jakarta, Ahad (19/2/2023).
Feka yang menamatkan studi di Universitas Indonesia mengatakan pengalaman merupakan memori dan begitu juga trauma yang merupakan gabungan dari memori dan emosi. Oleh karena itu, intervensi yang dilakukan sebaiknya membantu anak pulih secara emosi dari memori yang diingat atas kejadian tersebut.
Menurut Feka, pemulihan dari peristiwa kekerasan seksual sebaiknya dilakukan oleh psikolog klinis yang dapat dibantu juga oleh konselor yang terlatih. Pemulihan ini pun mungkin saja tidak bagi korban, tapi juga bagi keluarga.
Oleh karena itu, orang tua hendaknya berperan dalam komunikasi dan waktu yang baik dengan anak. Sementara pada anak, sangat diperlukan ada keterbukaan dan komunikasi dengan orangtua.
Upaya membangun komunikasi ini antara lain dengan bermain bersama anak, meluangkan waktu pagi rutin bersama, mengobrol bersama, dan ikut bermain dalam permainan yang dimainkan anak. Pada remaja, ayah dan ibu sebaiknya mengetahui kesukaan anak mereka dan mengikuti cerita atau perkembangan mereka.
"Anak tidak hanya membutuhkan kualitas tapi juga kuantitas, jadi luangkan waktu sebanyak mungkin dengan anak," kata Feka yang tergabung dalam Ikatan Psikolog Klinis Indonesia wilayah DKI Jakarta itu.
Penanganan Pelaku Kejahatan Seksual
Di sisi lain, pelaku juga sangat perlu mendapatkan intervensi, termasuk konseling dan edukasi, bahwa kekerasan dalam bentuk apapun merupakan perbuatan tak baik. Feka mengingatkan pelaku kekerasan seksual tidak hanya orang yang tidak kenal, bahkan sering kali sosok yang sudah dikenal anak.
Feka menyarankan orang tua perlu mengajari anak menganalisis situasi tak lazim. Salah satunya ketika ada orang dewasa meminta anak tak melaporkan situasi tidak lazim.
Menurut Feka, ketika ada orang dewasa yang berada di dekat anak meminta mereka untuk tidak bercerita atau melapor ke orang tua maka itu contoh situasi yang tidak lazim. Sementara itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat sebanyak 10 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi di satuan pendidik baik yang berasrama maupun tidak, selama Januari hingga 18 Februari 2023.
Sebanyak sembilan kasus sudah dilaporkan ke kepolisian, sedangkan satu kasus di Gunung Kidul diselesaikan dengan memindahkan kelas mengajar dan mengurangi jam mengajar oknum guru pelaku. Ketua Dewan Pakar PSGI Retno Listyarti berpendapat hukuman semacam itu tidak mempertimbangkan kondisi psikologis korban yang masih bersekolah di sekolah itu dan kemungkinan besar setiap hari bertemu oknum guru pelaku di lingkungan sekolah.
"Sementara guru pelaku tetap berpotensi melakukan hal yang sama tapi pada anak yang lain. Keputusan hukuman semacam itu tidak akan menimbulkan efek jera pada pelaku dan tidak berpresfektif melindungi anak di lingkungan sekolah," kata Retno melalui keterangan tertulisnya.
Sanksi Pidana Bagi Pelaku Kekerasan Seksual
FSGI pun memberikan sejumlah rekomendasi demi mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Salah satunya dengan mendorong Pemerintah Pusat maupun daerah untuk memastikan para pendidik pelaku kekerasan seksual pada anak didiknya dipidana guna mendorong adanya efek jera sekaligus tidak ada anak yang menjadi korban lagi.
Hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan mandat dari UU RI No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Isinya menyatakan bahwa perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.
FSGI juga mendorong Kemendikbudristek melakukan sosialisasi secara masif dan implementasi kebijakan dari Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan. FSGI pun mendorong Kementerian Agama untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Madrasah dan Pondok Pesantren atau Satuan Pendidikan di Bawah Kewenangan Kemenag.
Hal ini mengingat kasus kekerasan seksual di madrasah dan ponpes lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek. Data FSGI mencatat sebanyak 50 persen kasus kekerasan seksual terjadi pada jenjang SD/MI, 10 persen pada jenjang SMP, dan 40 persen di Pondok Pesantren.
Dari 10 kasus kekerasan seksual, 60 persen satuan pendidikan berada di bawah kewenangan Kementerian Agama. Sebanyak 40 persen lainnya di bawah kewenangan Kemendikbudristek.