PBB Setujui Resolusi Minta Rusia Mundur dari Ukraina
Resolusi didukung 141 negara, ditolak 7 negara dan abstain 32 negara
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Majelis Umum PBB menyetujui resolusi tak mengikat yang meminta Rusia untuk mengakhiri pertempuran di Ukraina dan menarik mundur pasukannya. Resolusi ini menjadi pesan kuat di malam peringatan satu tahun invasi Rusia ke negara tetangga.
Resolusi yang dirancang Ukraina dengan berkonsultasi dengan sekutu-sekutunya didukung 141 negara, ditolak tujuh negara, dan 32 negara memilih abstain. Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan, hasil pemungutan suara membuktikan tidak hanya Barat yang mendukung negaranya.
"Hasil pemungutan suara ini membantah argumen bagian selatan dunia tidak berada di pihak Ukraina, banyak negara-negara yang mewakili Amerika Latin, Afrika, Asia memilih mendukung," kata Kuleba, Kamis (23/2/2023).
Majelis Umum menjadi lembaga PBB paling berpengaruh yang mengurus masalah Ukraina sebab Dewan Keamanan yang bertanggung jawab menjaga perdamaian dan keamanan dunia mengalami kelumpuhan atas kekuasaan veto Rusia. Tidak seperti resolusi Dewan Keamanan, sifat resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat tapi menjadi barometer opini negara-negara di seluruh dunia.
Tujuh negara yang menolak resolusi itu adalah Belarusia, Nikaragua, Rusia, Suriah, Korea Utara, Eritrea, dan Mali. Enam negara itu memiliki hubungan kuat dengan Moskow. Amendemen yang diusulkan Belarusia kalah telak.
Dukungan pada resolusi terbaru mengenai perang di Ukraina sedikit lebih tinggi dibandingkan hasil pemungutan suara resolusi yang mengecam invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu. Resolusi yang menolak aneksasi ilegal Rusia pada bulan Oktober lalu juga didukung 143 negara.
Menteri-menteri luar negeri dan diplomat dari lebih dari 75 negara menyampaikan pidato dalam debat di Majelis Umum yang digelar selama dua hari. Banyak yang mengungkapkan dukungan mereka pada resolusi yang mempertahankan integritas wilayah kedaulatan Ukraina, prinsip dasar Piagam PBB yang semua negara harus patuhi ketika bergabung dengan organisasi dunia itu.
Perang Ukraina telah menewaskan puluhan ribu orang dari kedua belah pihak. Konflik itu meratakan kota-kota dan desa-desa di Ukraina. Dunia juga merasakan dampaknya lewat kenaikan harga makanan dan bahan bakar serta inflasi.
Deputi Duta Besar Venezuela untuk PBB Joaquín Pérez Ayestarán menyampaikan pidato untuk mewakili 16 negara yang memilih menolak atau abstain dalam lima pemungutan suara resolusi mengenai Ukraina, yakni Belarusia, Bolivia, Kamboja, Cina, Kuba, Eritrea, Guinea Khatulistiwa, Iran, Laos, Mali, Nikaragua, Korea Utara, St. Vincent, Suriah, Venezuela, dan Zimbabwe.
Ayestarán mengatakan, saat semua negara fokus pada tindakan Rusia, semua negara tanpa terkecuali harus menaati Piagam PBB. Ia merujuk mengenai dominasi Amerika Serikat (AS) dan Eropa di panggung internasional yang menurutnya melanggar Piagam PBB.
Ayestarán mengatakan, negara-negara yang masuk dalam kelompok yang ia wakilikan melawan apa yang ia sebut aksi memecah belah Majelis Umum. "(Dan untuk) semangat berkompromi," katanya. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan penjajah dan korbannya tidak dapat disamakan.
"Kami mendukung Rusia dan Ukraina untuk melangkah maju ke arah satu sama lain, masyarakat internasional harus mengambil langkah bersama untuk memfasilitasi perundingan damai," kata Wakil Duta Besar Cina untuk PBB Dai Bing di Majelis Umum PBB.
Cina mengatakan, netral dalam konflik ini dan mengadvokasi perundingan damai. Tapi Beijing tidak mengkritik invasi Rusia.
Cina mengecam AS dan sekutu-sekutunya yang memberlakukan sanksi pada Moskow dan mengirimkan bantuan militer ke Ukraina. Hubungan Cina dan Rusia semakin dekat karena kebijakan luar negeri mereka yang melawan dominasi AS di kancah internasional.
Pejabat tinggi kebijakan luar negeri Partai Komunis Cina Wang Yi menegaskan hubungan itu saat bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow pekan ini. Rusia dan Ukraina berusaha mencari dukungan di seluruh dunia.
Kepala kantor Kepresidenan Ukraina, Andriy Yermak membicarakan resolusi PBB dengan penasihat keamanan nasional India. "(Karena) Ukraina tertarik untuk memperluas sejauh mungkin dukungan resolusi tersebut, terutama dari negara-negara di bagian selatan dunia," katanya dalam pernyataan yang dirilis kantor kepresidenan Ukraina.
Selama Perang Dingin, India bergantung pada Uni Soviet dan beberapa kali abstain dalam pemungutan suara resolusi Dewan Keamanan PBB yang meminta Rusia menghentikan invasi. Negara-negara yang kurang berpengaruh seperti negara-negara Afrika juga terjerat dalam persaingan diplomasi.
"Kami dijajah, dan kami memaafkan penjajah kami, sekarang penjajah meminta kami bermusuhan dengan Rusia, yang tidak pernah menjajah kami, apakah itu adil?" kata Menteri Luar Negeri Uganda Abubaker Jeje Odongo pada media Rusia, Sputnik bulan ini.
Rusia merupakan pasokan senjata utama Afrika dan Odongo mencatat sebagian besar peralatan militer negaranya berasal dari Rusia.
"Selama Perang Dingin negara-negara di Afrika secara tradisional melekat dengan Uni Soviet, memiliki nostalgia lama, tapi Rusia juga memiliki alat yang bagus, bagaimana memotivasi negara-negara Afrika berada di pihak mereka," kata Menteri Luar Negeri Slovakia Rastislav Káčer di New York.
"Dan kemudian ada yang lainnya, seperti Cina, yang merupakan kekuatan besar dan sangat hati-hati mengikuti apa yang terjadi, dan menghitung apa yang baik bagi mereka," katanya menambahkan.