Anak-Anak Jadi Kasar dan Terjebak Pergaulan Bebas, Salah Orang Tuanya Apa?
Belakangan, makin banyak anak yang tumbuh jadi pelaku keonaran.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tahun terakhir kita telah disuguhkan pelbagai kasus kriminal yang dilakukan remaja, mulai dari tindakan kekerasan, pembunuhan, terjebak pergaulan bebas, melakukan pelecehan seksual, hingga tawuran. Di fase pencarian jati dirinya, mengapa anak muda zaman sekarang lebih cenderung sulit diatur?
Psikolog pendidikan anak dan remaja, Alfa Restu Mardhika, mengatakan bahwa di era digital, anak cenderung lebih cepat dan mudah terpapar informasi dan konten, baik itu positif maupun negatif, dari berbagai sumber. Konten tersebut pada akhirnya bisa sangat memengaruhi pola pikir, pemahaman, hingga karakter buah hati.
Menurut Alfa, dalam hal ini, orang tua memiliki peranan penting untuk kemudian menjadi teman atau pendamping anak yang bertugas memfilter nilai-nilai atau pengaruh dari luar yang dirasa tidak pantas. Karenanya, saat anak memasuki usia remaja, orang tua harus tetap memantau dan menerapkan aturan-aturan kepada mereka.
"Harus tetap ada aturan, ibaratnya kan sekarang itu tantangannya semakin besar, jadi kita tuh harus membekali anak dengan 'senjata' untuk menghadapi kehidupan di luar. Dan senjatanya itu apa? Value dari orang tua, batasan mana yang boleh dan tidak boleh, itu penting sekali," kata Alfa saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (28/2/2023).
Alfa tak memungkiri, menanamkan pemahaman maupun nilai keluarga kepada buah hati tidaklah mudah, apalagi ketika anak sudah menginjak usia remaja. Namun, menurut Alfa, semua itu bisa dilakukan dengan mudah jika orang tua sudah membangun bonding (kelekatan) dengan anak sedari dini.
"Misalnya dari anak umur dua atau tiga tahun sisihkan 15 menit untuk main bareng, kalau main bareng pasti bisa membangun bonding sama anak,” kata Alfa.
Jika kebiasaan sederhana itu konsisten dilakukan, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih terbuka kepada orang tua. Dengan demikian, orang tua pun akan lebih mudah memberi tahu anak-anaknya soal batasan mana yang baik dan tidak, apa saja yang boleh dan tidak, bagaimana bersikap dan mengatur emosi agar tidak merugikan orang lain serta diri sendiri, dan lainnya.
"Rasanya juga enggak ada alasan nggak bisa, kalau semisal hubungan jarak jauh gitu, ayahnya kerja di luar kota misalkan, bisa kok video call, ngobrol sama anak 15 menit setiap hari, pasti bonding-nya kebangun lama kelamaan," kata Alfa.
Lantas, bagaimana kalau orang tua sudah telanjur jauh dan berjarak dari buah hati sedari kecil hingga remaja? Alfa menilai, dalam kasus ini tentu akan lebih susah untuk membangun bonding. Namun, selama ada kemauan untuk memperbaiki hubungan, tidak ada yang tidak mungkin.
Caranya, menurut Alfa, orang tua bisa mencoba mendalami hal-hal yang disukai buah hati. Ketika anak mengagumi artis K-pop, misalnya, orang tua bisa mencoba membangun bonding dengan juga ikut memahami K-pop meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan nilai yang dianut orang tua.
"Walaupun orang tua enggak suka dan mungkin enggak sejalan sama value kita, tapi ya sudah terima dulu, jangan malah dikata-katain, dimarahin, ya nambah jauh hubungan sama anak. Pokoknya pahami aja dulu, dan ketika anak sudah menerima dan mau terbuka, baru kita bisa diskusi," kata dia.
Namun demikian, jika memang dirasa susah, Alfa menyarankan untuk meminta bantuan dari profesional. Sebab, bisa jadi anak dan orang tua punya PR masing-masing.
"Misalnya anak sudah kadung kesal karena merasa dicuekin, dan itu harus diselesaikan dulu, dengan bantuan pihak ketiga, yaitu profesional," kata Alfa.