Jelang Pemilu, Masyarakat Diminta Waspadai Manipulasi Deepfake

Deepfake merupakan teknik manipulasi menggunakan kecerdasan buatan.

www.freepik.com
Teknologi deepfake (ilustrasi). Menjelang pemilu, masyarakatdiminta mewaspadai teknologi deepfake.
Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan meminta masyarakat tidak langsung percaya hanya pada satu informasi. Tujuannya untuk menghindari konten manipulasi deepfake.

Baca Juga


"Jadi masyarakat perlu mengombinasikan sumber-sumber informasi, tidak hanya pada satu macam saja," ujar Firman, Selasa (28/2/2023).

Deepfake merupakan teknik manipulasi menggunakan kecerdasan buatan. Deepfake bisa membuat konten seolah-olah seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu, padahal sebenarnya tidak mereka lakukan.

Keberadaan deepfake dinilai membuka peluang timbulnya disinformasi di tengah masyarakat. Konten-konten deepfake diyakini akan semakin banyak ditemukan, khususnya di tahun politik seperti saat ini.

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024, konten-konten deepfake berpotensi digunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk saling menjatuhkan antar kandidat peserta pemilu.

Untuk terhindar dari konten tersebut, Firman meminta masyarakat lebih selektif dalam memilah Informasi yang diperoleh. Masyarakat diminta tidak terpaku dan langsung percaya terhadap informasi yang diperoleh hanya dari satu sumber. Hal itu, kata dia, penting untuk terhindar dari filter bubble maupun echo chamber.

"Kalau sumber informasinya dibaca oleh algoritma satu macam, itu akan terjebak yang namanya filter bubble dan echo chamber. Jadi dia masuk ke sebuah ruangan yang sudah berisi dengan informasi-informasi sejenis. Dia mengira itulah kenyataan tentang kandidat yang saya dukung, padahal kalau kita pakai sumber informasi yang lain, itu bisa jadi bunyinya akan lain, dan itu perlu keterbukaan pikiran untuk memahami," jelas Firman.

Dia mengatakan, upaya lainnya yang bisa dilakukan agar terhindar dari konten tersebut pada tahun pemilu adalah dengan lebih mengenal latar belakang dari kandidat peserta pemilu yang diusung. Dengan demikian, masyarakat tidak akan langsung percaya, atau setidak-tidaknya curiga ketika menerima konten "janggal" tentang kandidat yang diusung.

Untuk itu, perlu pengenalan terhadap masing-masing kandidat dan mengombinasikannya dengan sumber informasi lainnya. Dengan begitu, masyarakat punya perbandingan, mungkinkah seseorang berbicara seperti itu atau tidak.

"Akhirnya bukan hanya berpatokan pada unggahan media sosial atau media digital tetapi juga karakter-karakter yang melekat pada kandidat tersebut," kata dia.

Firman turut berpesan kepada media arus utama untuk tetap menjadi rumah penjernih informasi pada tahun pemilu. Keberadaan media arus utama yang terpercaya dan memiliki kredibilitas yang baik akan sangat berperan dalam memerangi disinformasi, malinformasi, misinformasi, hoaks, hingga konten manipulasi deepfake.

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler