Ahli Ushul Fikih: Penyelewengan Pajak tak Dibenarkan dalam Islam

Islam mewajibkan warga negara membayar pajak.

FB Ma'had Aly Situbondo
KH Afifuddin Muhajir bicara tentang pajak.
Rep: Muhyiddin Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ulama Ushul Fikih dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo,  KH Afifuddin Muhajir menegaskan bahwa penyelewengan dana pajak tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan, menurut dia, penyelewangan terhadap dana apapun dilarang dalam Islam. 

Baca Juga


Pakar hukum Islam yang tersohor di kalangan NU ini menjelaskan, dalam perspektif Islam hukum membayar pajak itu sendiri sebenarnya hukumnya wajib. "Artinya, seluruh warga negara yang termasuk wajib pajak, wajib hukumnya menurut pandangan Islam untuk membayar pajak," ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (1/3/2023). 

Menurut dia, Islam mewajibkan warga negara membayar pajak karena tanpa pungutan pajak tidak mungkin pemerintahan ini bisa dilaksanakan dan tidak mungkin bisa melakukan pembangunan. Akan tetapi, memurut dia, ada beberapa catatan dalam pembayaran pajak tersebut. 

Pertama, menurut Kiai Afifuddin, pajak itu harus dibangun di atas prinsip keadilan. Dia pun mengartikan adil itu dengan "Wad'u al-Syai fi Mahallihi" yang artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Misalnya, terkait dengan besaran pajak yang harus dipungut, hal itu harus dikaitkan dengan kebutuhan negara untuk membiayai penyelenggaraan negara dan untuk melakukan pembangunan.

"Kalau yang dibutuhkan misalnya Rp 100 Triliun kemudian memungut pajak Rp 200 Triliun itu namanya kan tidak adil. Jadi masalah besar kecilnya pungutan pajak juga harus dibahas," ucap kiai kelahiran Sampang, 20 Mei 1955 ini. 

Kedua, lanjut dia, dalam Islam pengelolaan pajak itu juga harus dilakukan dengan benar. Karena itu, menurut Kiai Afifuddin, Islam tidak membenarkan jika ada penyelewengan dalam pengelolaan dana pajak. 

"Yang kedua, harus dikelola dengan benar dan baik. Kalau penyelewengan berarti yang namanya penyelewengan berkaitan dengan apa saja penyelewengan itu tidak benar," katanya. 

Sedangkan catatan yang ketiga, dana pajak itu harus disalurkan dengan cara yang benar. Menurut dia, dana pajak harus disalurkan kepada orang-orang yang berhak menerima pajak itu, termasuk masyarakat dengan ekonomi lemah.

"Yang pertama ya sudah barang tentu para pegawai, para pejabat dan seterusnya, kemudian digunakan untuk melakukan pembangunan, dan yang tak kalah penting yang berhak menerima dana pajak itu adalah orang-orang yang ekonomi lemah, itu juga harus ikut menikmati pajak itu," jelas Kiai Afifuddin.

Lebih lanjit, Doktor Honoris Causa dalam bidang Ushul Fikih ini menjelaskan, pada dasarnya dalam Islam itu pungutannya hanya zakat. Menurut dia, pungutan dana zakat itu mendapatkan izin langsung dari Allah SWT.

"Akan tetapi persoalannya kemudian, bagaimana kalau dana zakat itu tidak cukup untuk memeberantas kemiskinan dan sebagainya? Maka para ulama mengatakan, boleh ada pungutan di luar zakat,"  kata Kiai Afifuddin.

Menurut dia, hal itu berdasarkan sebuah hadits yang menyatakan, 

  إن في المال لحفا سوى الزكاة

Artinya: “Sesungguhnya dalam setiap harta terdapat hak selain zakat.”

Menurut Kiai Afifuddin, dalam hadits itu dijelaskan bahwa pada harta itu ada hak lain selain zakat, yakni ketika zakat tak lagi cukup. "Ini artinya bahwa pungutan di luar zakat itu dalam konteks darurat, termasuk pajak. Jadi, kenapa negara boleh melakukan pungutan pajak? ya karena dalam rangka darurat. Karena tidak mungkin tanpa pajak negara ini dan pemerintahan dilesenggarakan dan dijalankan," jelas Kiai Afifuddin. 

Baca juga : Pegawai Pajak Murka di Media Sosial, Ini Kata Staf Khusus Sri Mulyani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler