Anomali Kepuasan Publik Terhadap Jokowi di Survei Penegakan Hukum oleh LSI
Menurut pakar, ada dua faktor tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi masih tinggi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menilai ada dua faktor yang membuat masih tingginya kepuasan publik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meskipun, hampir 30 persen masyarakat tak puas dengan penegakan hukum di Indonesia.
Pertama, adalah pengetahuan publik yang sedikit dalam melihat keterkaitan proses hukum dengan tanggung jawab seorang presiden. Padahal, tingginya tingkat ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum merupakan tanggung jawab penuh dari Jokowi sebagai pemimpin negara saat ini.
"Misalnya kasus Sambo, kasus Sambo itu mudah sekali saya katakan sebetulnya yang harus bertanggung jawab adalah pemerintah, Pak Jokowi. Dalam artian ini adalah kegagalan reformasi institusi yang dipegang oleh Polri yang langsung berada di bawah Pak Presiden," ujar Zainal dalam diskusi yang digelar Lembaga Survei Indonesia (LSI), Rabu (1/3/2023).
Namun, karena pengetahuan yang sedikit tersebut, publik hanya melihat bahwa kasus Sambo adalah tanda adanya oknum yang tak baik dalam kepolisian. Sehingga tanggung jawabnya ada di Polri, bukan di presiden.
"Dulu dwifungsi dipegang militer, kita berhasil jinakkan dwifungsi militer, tapi yang berkembang adalah dwifungsi Polri dan kita belum berhasil jinakkan yang ini. Kalau kita bicara penjinak, ini adalah tanggung jawab presiden yang sangat besar sebenarnya, jadi publik tidak nyampe ke isu itu," ujar Zainal.
Kedua adalah faktor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Menurutnya, Mahfud memiliki peran sebagai orang terdepan yang langsung mengomentari permasalahan hukum.
"Kemampuan Pak Mahfud sendiri di Menkopolhukam untuk menjadi bemper dalam banyak hal," ujar Zainal.
Peran Mahfud yang menjadi garda terdepan dalam menyampaikan sikap terhadap permasalahan hukum, dipandang masyarakat sebagai sikap Jokowi. Sehingga masih tingginya tingkat ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum, tak akan mempengaruhi tingkat kepuasan terhadap kinerja presiden.
"Misal di kasus Sambo saya kira Pak Mahfud punya peran berkoar-koar yang cukup tinggi dan saya kira itu yang mempengaruhi publik dan dilihat 'ohh jangan-jangan presiden memang concern-nya sama dengan concern-nya Pak Mahfud'," ujar Zainal.
Pada Rabu (1/3/2023), Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei terkait kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Dalam surveinya kali ini, pandangan penegakan hukum bersama kondisi ekonomi akan menjadi indikator tingkat kepuasan masyarakat kepada kinerja Presiden Jokowi.
Dari sisi penegakan hukum, hampir 30 persen responden menyatakan bahwa implementasinya buruk. Detailnya adalah sebesar 29,6 persen menyatakan penegakan hukum di Indonesia buruk, yang terbagi buruk (22,6 persen) dan sangat buruk (7,0 persen).
"Lebih banyak yang menilai keadaan penegakan hukum pada umumnya sekarang baik/sangat baik 35 persen, dibanding buruk/sangat buruk 29,6 persen," ujar Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan dalam rilis daringnya, Rabu.
Sedangkan, sebanyak 29,4 persen responden menyatakan kondisi penegakan hukum sedang saja, yang tak dihitung dalam persentase baik atau buruk. Adapun 6,1 persen lainnya menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab.
Berbading terbalik dengan kondisi penegakan hukum, mayoritas responden justru melihat bahwa kondisi ekonomi nasional buruk. Sebanyak 37,3 persen menyatakan hal tersebut, terbagi buruk (27,7 persen) dan sangat buruk (9,6 persen).
Publik yang menyatakan kondisi ekonomi nasional baik sebanyak 24,6 persen, terbagi sangat baik (1,7 persen) dan baik (22,9 persen). Namun, sebesar 37,1 persen responden menyatakan kondisi ekonomi nasional sedang saja, yang tak dihitung dalam persentase baik atau buruk.
LSI juga merilis survei terkait kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Salah satunya tingkat kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), pengadilan, dan kepolisian dari 14 lembaga yang ada.
Dari 14 lembaga tersebut, TNI berada di posisi teratas dengan tingkat kepercayaan sebesar 93 persen. Di bawahnya ada presiden (85 persen), KPK (68 persen), pemerintah daerah (75 persen), dan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat (72 persen).
Selanjutnya adalah kementerian/lembaga, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperoleh tingkat kepercayaan yang sama, yakni sebesar 74 persen. Selanjutnya adalah media massa sebesar 68 persen.
Lima terendah adalah Kejagung (69 persen), pengadilan (66 persen), kepolisian (61 persen), partai politik (58 persen), dan DPR/DPRD (58 persen).
Djayadi menjelaskan, survei ini dilakukan karena masalah-masalah hukum menjadi perhatian publik selama sebulan terakhir. Selain kasus yang menyeret mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, mencuat juga kasus Koperasi Indosurya dan penetapan tersangka kepada mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang sudah meninggal.
"Kasus-kasus hukum ini menarik perhatian luas, bukan saja karena terkait dekat dengan kehidupan masyarakat, tapi juga karena membuat lembaga-lembaga penegak hukum dan aparat penegak hukum menjadi sorotan publik," ujar Djayadi.
Kendati angka ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum dan kondisi ekonomi nasional cukup besar, 75,9 persen masyarakat puas terhadap kinerja Jokowi. Terbagi Sangat puas (18,1 persen) dan cukup puas (57,8 persen).
"Kurang puas 17,9 persen dan tidak puas sama sekali 3,2 persen," ujar Djayadi.
"Mayoritas tetap merasa puas, meski persepsinya negatif terhadap kondisi ekonomi dan penegakan hukum. Namun, jika semakin positif persepsinya, maka kepuasan semakin tinggi," sambungnya.
LSI melakukan survei pada 10 hingga 17 Februari 2023. Jumlah sampel sebanyak 1.228 responden yang dipilih melalui metode random digit dialing (RDD). Adapun, margin of error sebesar kurang lebih 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.