Iran Sebut AS Setuju Lakukan Pertukaran Tahanan, Washington Bantah Klaim Itu

Qatar dan Swiss disebut telah terlibat dalam pembicaraan pertukaran tahanan tersebut.

FARS
Penjara Evin di Teheran, Iran. Iran dan Amerika Serikat (AS) disebut telah mencapai kesepakatan untuk bertukar tahanan.
Rep: Amri Amrullah Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Iran dan Amerika Serikat (AS) disebut telah mencapai kesepakatan untuk bertukar tahanan. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian kepada TV pemerintah Iran pada Ahad (12/3/2023). Namun, klaim Teheran itu dibantah Washington dan menuduhnya sebagai klaim palsu. 

Baca Juga


"Mengenai masalah pertukaran tahanan antara Iran dan AS, kami telah mencapai kesepakatan dalam beberapa hari terakhir dan jika semuanya berjalan baik di pihak AS, saya pikir kami akan menyaksikan pertukaran tahanan dalam waktu dekat," kata Amirabdollahian.

“Di pihak kami semuanya sudah siap, sementara AS saat ini sedang mengerjakan koordinasi teknis terakhir," tambahnya.

Namun seorang pejabat Gedung Putih membantah pernyataan Menlu Iran Amirabdollahian tentang pertukaran tahanan. Meski demikian, kata dia, AS berkomitmen mengamankan pembebasan warga Amerika yang ditahan di Iran.

"Klaim oleh pejabat Iran bahwa kami telah mencapai kesepakatan untuk pembebasan warga AS, yang ditahan secara salah oleh Iran adalah salah," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih.

Sebuah sumber yang diberi pengarahan tentang pembicaraan itu mengatakan, pertukaran tahanan memang bisa saja terjadi. Tetapi salah satu poin penting yang masih mengganjal, terkait dengan 7 miliar dolar AS, dana minyak Iran yang dibekukan di bawah sanksi AS di Korea Selatan.

"Logistik tentang bagaimana dana ini akan ditukar dan bagaimana pengawasan akan diberikan belum terselesaikan," kata sumber tersebut, yang berbicara tanpa menyebut nama karena sensitivitas negosiasi diprosesnya.

Sumber tersebut menambahkan bahwa Qatar dan Swiss telah terlibat dalam pembicaraan pertukaran tahanan. Sumber Iran mengatakan kepada Reuters bahwa dua negara regional lain, telah terlibat dalam pembicaraan tidak langsung antara Teheran dan Washington.

Salah satu dari beberapa orang Amerika yang ditahan di Iran adalah Siamak Namazi, seorang pengusaha dengan kewarganegaraan ganda AS-Iran, yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada tahun 2016. Ia ditahan karena dituduh karena memata-matai Iran dan bekerja sama dengan pemerintah AS.

Emad Sharghi, seorang pengusaha Iran-Amerika yang pertama kali ditangkap pada tahun 2018 ketika dia bekerja untuk sebuah perusahaan investasi teknologi, juga dipenjara di Iran, seperti halnya Morad Tahbaz, aktivis lingkungan Iran-Amerika, yang juga memegang kewarganegaraan Inggris.

Selama bertahun-tahun, Teheran telah mengupayakan pembebasan lebih dari selusin warga Iran di Amerika Serikat, termasuk tujuh warga Iran berkewarganegaraan ganda Amerika. Dua warga Iran dengan tempat tinggal permanen AS dan empat warga negara Iran tanpa status hukum di Amerika Serikat.

Republik Islam, yang menahan puluhan warga negara ganda Iran dan orang asing, telah dituduh oleh aktivis HAM menangkap mereka untuk mencoba mendapatkan konsesi dari negara lain. Iran telah menolak tuduhan itu.

Beberapa media Iran melaporkan pekan lalu bahwa Iran telah mencapai kesepakatan pertukaran tahanan dengan imbalan pelepasan 7 miliar dolar AS dana minyak Iran yang dibekukan.

Pada tahun 2018, Presiden AS, Donald Trump membatalkan kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan enam kekuatan lainnya, dan menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Republik Islam.

Kesepakatan itu telah memberlakukan pembatasan pada kegiatan nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi internasional. Sebagai reaksi terhadap sanksi Washington, Teheran secara bertahap melanggar pembatasan pakta program nuklirnya.

Pembicaraan tidak langsung antara Teheran dan pemerintahan Presiden AS Joe Biden tentang menghidupkan kembali perjanjian telah terhenti sejak September. Kesepakatan itu memberlakukan pembatasan kegiatan nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler