Ekonom : Indonesia Perlu Bersiaga Sikapi Kebangkrutan SVB

Risiko efek pengetatan likuiditas global usai kebangkrutan SVB tak bisa diabaikan.

svb.com
Sillicon Valley Bank (SVB). Risiko dari pengetatan likuiditas global usai kebangkrutan SVB terhadap perekonomian domestik tidak bisa diabaikan.
Rep: Dian Fath Risalah Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saham berbagai bank di Amerika Serikat (AS) terus mengalami kerugian. Bahkan pada Jumat (10/3/2023), sejumlah saham bank regional terpukul paling parah.

Baca Juga


Kegagalan Silicon Valley Bank (SVB) Financial Group berdampak ke seluruh industri keuangan. Sebelumnya, Regulator Perbankan California telah menutup SVB dan menempatkan lembaga pembiayaan itu ke kurator, sebagai kegagalan bank terbesar sejak krisis 2008.

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono memandang pemerintah Indonesia perlu bersiaga setelah SVB bangkrut. Meskipun, saat ini kondisi keuangan di Indonesia cukup stabil.

"Menurut saya, otoritas Indonesia perlu bersiaga. Meski kondisi perbankan dan sektor keuangan kita saat ini cukup stabil, tapi beberapa kegagalan bayar korporasi, dengan yang terakhir kasus gagal bayar obligasi Waskita Karya, menjadi sinyal yang harus sangat diwaspadai," ujar Yusuf kepada Republika, Senin (13/3/2023).

Akademisi dari Universitas Indonesia itu mengatakan, kegagalan bayar oleh korporasi besar akan berpotensi sistemik ke perbankan. Terlebih, perbankan di Indonesia saat ini juga memegang obligasi pemerintah dalam jumlah besar.

"Meski hingga kini pertumbuhan ekonomi kita masih stabil dan salah satu yang terbaik di dunia, tapi risiko dari pengetatan likuiditas global usai kebangkrutan SVB terhadap perekonomian domestik tidak bisa diabaikan," tutur Yusuf.

Diketahui, saham SVB sudah dihentikan pada Jumat lalu. Sedangkan saham bank menengah AS lainnya semakin rugi besar akhir-akhir ini. Indeks bank regional S&P 500 turun 4,3 persen, membawa kerugiannya pekan ini menjadi 18 persen atau terburuk sejak 2009. Lalu berbagai bank AS telah kehilangan 100 miliar dolar AS lebih nilai pasar saham dalam dua hari. Sementara beberapa bank Eropa kehilangan sekitar 50 miliar dolar AS.

Krisis SVB terjadi ketika Federal Reserve AS (The Fed), terkunci dalam pertempuran melawan inflasi, menaikkan suku bunga, dan mengakhiri era uang murah. Di sisi lain, kekhawatiran investor tentang kenaikan suku bunga yang agresif dalam pertemuan Fed berikutnya pada akhir bulan ini mereda pada Jumat, berkat tanda-tanda penurunan pertumbuhan upah dalam laporan pekerjaan Februari.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler