Cita-Cita Arya Menjadi Insinyur Pupus di Ujung Pedang Pelajar Lain
Arya Saputra meninggal setelah lehernya disabet pedang oleh pelajar lain, Jumat lalu.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Shabrina Zakaria
Hari berjalan seperti biasa pada Jumat (10/3/2023). Rojai sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang office boy (OB) di sebuah perusahaan di Kabupaten Bogor. Tiba-tiba, salah seorang tetangganya datang meminta Rojai untuk segera pulang.
"Ada apa ya?" tanya Rojai terheran-heran.
Alih-alih menjelaskan apa yang terjadi, sang tetangga memintanya untuk segera pulang ke rumah. Tak butuh waktu lama, ia pun izin ke pimpinannya dan bergegas pulang ke rumah.
Keheranan Rojai semakin menjadi-jadi, tatkala melihat deretan bendera kuning berjajar di rumahnya. Belum mendapat penjelasan apapun, sang tetangga membawa Rojai ke Rumah Sakit FMC di Desa Cimandala, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor.
Setibanya di rumah sakit, Rojai melihat anak dan istrinya telah tiba terlebih dahulu. Matanya menyisir orang-orang yang hadir di sana. Istrinya, anak pertamanya, anak keduanya, namun tak terlihat anak bungsu yang amat disayanginya itu.
“Pak, yang kuat ya. Si dedek…,” ujar salah seorang sanak keluarga menghampiri Rojai.
Pria berusia 56 tahun ini pun sontak menangis kencang dan histeris. Tidak menyangka jika anak bungsu kesayangannya, Arya Saputra, harus meregang nyawa dengan cara yang tragis.
Tepat pada Jumat (10/3/2023), Arya mengembuskan napas terakhirnya di usia 16 tahun. Leher Arya disabet menggunakan sebilah pedang oleh pelajar lain ketika menyebrang di Simpang Pomad atau Jalan Raya Jakarta-Bogor, Kelurahan Ciparigi, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor sepulang dari sekolah.
Rojai pun mengenang mimpi dari putra angkatnya itu. Siswa Kelas X di SMK Bina Warga itu, bercita-cita ingin menjadi insinyur. Arya pun mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan (TKR) untuk meraih mimpinya.
Tak berhenti sampai di situ, Arya pun bermimpi untuk membangun rumahnya yang terletak di Desa Cijujung, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Bahkan, ia bertekad untuk membelikan ibunya sebuah mobil.
Pribadi yang baik, tingkahnya yang tidak macam-macam, serta sikapnya yang tidak neko-neko membuat Rojai menyayangi Arya seperti anak kandungnya. Arya yang diasuhnya menjadi anak angkat sejak usia tiga bulan ini, bukan anak yang gemar membuat masalah.
“Jadi ya saya merasa terpukul atas kejadian ini. Kalau bisa dari pihak kepolisian maupun media, untuk usut. Bantu kawal. Usut tuntas kejadian ini,” pinta Rojai.
Di SMK Bina Warga, Arya tercatat sebagai salah seorang penerima bantuan. Kepala Sekolah SMK Bina Warga, Surisman, menyebutkan kondisi ekonomi dari Arya memang memprihatinkan.
Seusai kejadian tewasnya Arya, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) juga turun mengirimkan bantuan. Apalagi, Arya telah menjadi anak yatim sejak usia tiga bulan, sehingga harus diadopsi oleh keluarga Rojai.
“Saat pemakaman, ibu asli dan ibu angkatnya ada, yang trauma sangat ibu angkatnya. Karena itu paling disayang daripada anak dia sendiri kata dia,” tutur Surisman.
Kejadian tewasnya pelajar akibat serangan senjata tajam, bukan baru sekali terjadi di Kota Bogor. Terlebih, penyerangan juga dilakukan oleh pelajar lain. Pada Oktober 2021, seorang pelajar SMAN 7 Bogor juga meninggal dunia usai tubuhnya ditebas menggunakan celurit.
Peristiwa penyerangan ini, menjadi pelajaran bagi seluruh satuan pendidikan, terutama Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Lantaran SMA dan SMK berada di bawah wewenang KCD.
Analis Kebijakan KCD Pendidikan Wilayah II, Irman Haeruman, mengakui aksi kekerasan di antara pelajar tidak pernah bisa diperkirakan kapan dan di mana akan terjadi. Padahal masing-masing satuan pendidikan di bawah naungan KCD sudah melakukan upaya pengawasan, bahkan kerja sama dengan para orangtua.
Selain pengawasan, upaya yang dilakukan oleh satuan pendidikan di bawah KCD, antara lain peningkatan pembelajaran budi pekerti. Melalui penerapan Kurikulum Merdeka, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), serta penguatan pendidikan karakter.
Meski demikian, di luar kegiatan belajar mengajar, KCD tidak mengetahui apabila pelajar di SMA dan SMK saling bermusuhan satu sama lain. Apalagi, pelaku dalam kasus penyerangan Arya masih dalam pengembangan pihak kepolisian.
Oleh karenanya, KCD menyerahkan penyelidikan kasus dan penangkapan pelaku ke polisi. Sehingga KCD akan terus berkoordinasi dengan kepolisian terkait keamanan pelajar.
“Harus (berkoordinasi). Itu memang harus kita lakukan dengan aparat setempat di lingkungan masing-masing satuan pendidikan. Itu harus,” ujar Irman.
Sementara itu, tak butuh waktu lama, Polresta Bogor Kota telah menangkap dua dari tiga terduga pelaku pembacokan Arya. Selain dua terduga pelaku, polisi juga menangkap satu orang yang membantu terduga pelaku bersembunyi.
Kapolresta Bogor Kota, Kombes Polisi Bismo Teguh Prakoso, mengungkapkan ketiganya ditangkap di luar wilayah Kota Bogor. Namun, ia tak menyebutkan secara rinci kapan ketiganya ditangkap polisi.
“Pelaku dua orang tertangkap, satu lagi itu orang yang menyembunyikan itu juga kami tangkap di luar wilayah bogor tadi,” kata Bismo kepada awak media, Senin (13/3/2023).
Bismo menyebutkan, saat ini polisi belum bisa mengungkap apa peran dari masing-masing terduga pelaku. Sebab, polisi masih melakukan pengembangan terhadap kasus ini.
“Nanti kami sampaikan perannya masing-masing. Kami mohon waktu segera kami ungkap,” tutup Bismo.
Sebelum kasus Arya, dua remaja di Kabupaten Bogor terlibat duel atau perkelahian maut dengan senjata tajam di wilayah Rancabungur. Salah seorang di antaranya meninggal dunia akibat kejadian tersebut.
Kapolsek Rancabungur, Iptu Hartanto, mengatakan peristiwa itu terjadi pada Rabu (8/3/2023) malam. Kedua remaja yang terlibat duel ialah YV (17 tahun) dan MT (18).
“Terjadi perkelahian (duel) dengan menggunakan senjata tajam yang diakhiri meninggalnya salah satu pihak,” kata Hartanto dalam keterangannya, Kamis (9/3/2023).
Lebih lanjut, Hartanto menjelaskan, korban sebelumnya sudah berjanjian sebelumnya untuk berkelahi. Bahkan menggunakan senjata tajam jenis celurit.
Dalam duel maut tersebut, sambung dia, keduanya mengalami luka bacokan senjata tajam. Nahas, korban YV meninggal dunia, sedangkan MT masih selamat dan sedang menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor.
“Korban MT kondisinya tangan kiri mengalami patah tulang dan luka robek dengan sembilan jahitan,” imbuhnya.
Hartanto mengatakan, polisi yang mendapat laporan tersebut sudah mengamankan barang bukti sebilah celurit. Saat ini, kasus duel maut ini ditangani lebih lanjut oleh Polres Bogor.
“Keluarga korban menolak untuk dilakukan autopsi dan membuat surat pernyataan. Untuk Perkara dilimpahkan tangani Polres Bogor,” ujar Hartanto.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menyoroti maraknya kasus saling bacok di kalangan remaja di berbagai wilayah Indonesia. KPAI memandang hal ini menjadi pengingat akan pentingnya upaya pencegahan.
Berdasarkan data KPAI sepanjang 2022, terdapat 502 kasus anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis atau tertinggi kedua setelah kasus anak menjadi korban kejahatan seksual (834 kasus). Faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan fisik dan/atau psikis kepada anak diantaranya pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisivitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak.
"Memang ada kecenderungan masyarakat kita hari ini tentang kekerasan fisik ini begitu tinggi, besar ya. Sehingga ini menjadi alarm yang sudah berbunyi sangat keras untuk kita lakukan langkah-langkah pencegahan, langkah-langkah akurat hingga penanggulangan," kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah kepada Republika, Sabtu (11/3/2023).
Maryati mengamati anak pada masa saat ini tak lagi sekadar menggunakan kekerasan untuk menunjukkan jati. Mereka bahkan siap membunuh lawan untuk membuktikan diri.
"Tingkatannya itu bukan duel satu lawan satu seolah ingin jadi jagoan, nggak begitu lagi. Tapi ingin menghabisi seseorang ingin merampas nyawa seseorang. Jadi eskalasinya itu sangat luar biasa," ucap Maryati.
Pada titik ini, Maryati memandang aksi kekerasan remaja tak lagi bisa disebut kenakalan remaja. "Ini yang saya soroti sebagai kenakalan remajanya mengarah pada praktik melawan hukum ya," lanjut Maryati.
Oleh karena itu, KPAI mendorong Pemerintah menguatkan program berbasis anak. Mereka mesti dipandang sebagai objek pembangunan sehingga dilibatkan dalam perkembangan wilayahnya, seperti disertakan dalam Musrembang. Dengan demikian, anak punya penyaluran positif.
"Jelas ini problem besar gitu ya. Pemerintah harus betul-betul memiliki kepedulian tinggi," ucap Maryati.