Gedung Putih: AS tidak dalam Posisi Jadi Mediator Saudi-Iran
Tindakan Beijing yang menjadi mediator Saudi-Iran tidak merugikan kepentingan AS.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan, Amerika Serikat (AS) memang tidak berusaha mengambil peran mediator untuk menyelesaikan perselisihan antara Arab Saudi dan Iran. Kedua negara ini mengumumkan kesepakatan pemulihan hubungan berkat bantuan mediasi Cina.
“Kami tidak dalam posisi untuk menjadi mediator antara Arab Saudi dan Iran mengingat hubungan kami dengan kedua negara tersebut. Kami tidak pernah seperti itu, dan tidak dalam posisi seperti itu hari ini,” kata Sullivan kepada awak media, Senin (13/3/2023).
Sullivan pun sempat ditanya bagaimana Washington memandang peran Cina dalam menengahi kesepakatan pemulihan hubungan Saudi dengan Iran. Dia menyebut tindakan Beijing tak merugikan kepentingan AS.
“Jadi, dari sudut pandang kami, meskipun kami telah mengerahkan banyak kekuatan diplomatik untuk mencoba membantu mempromosikan deeskalasi seperti gencatan senjata Yaman, memiliki negara lain seperti Cina mempromosikan deeskalasi tidak secara fundamental merugikan kepentingan AS. Terus terang, hal ini mendayung ke arah yang sama,” ucap Sullivan.
Menurut Sullivan, saat masih terlibat negosiasi dan pembicaraan dengan Iran, pihak Saudi selalu memberi tahu perkembangan proses tersebut kepada AS. “Kami berhubungan dekat dengan Arab Saudi saat mereka mendekati dan terlibat dalam pembicaraan itu, dan mereka memberi tahu kami tentang kemajuan mereka di sepanjang jalan,” ujarnya.
Dia menekankan, AS memandang pemulihan hubungan Saudi dan Iran sebagai perkembangan positif, khususnya untuk kawasan Timur Tengah. “Kami pikir ini sesuatu yang positif sejauh ini, mempromosikan tujuan yang telah dipromosikan AS di kawasan ini, yaitu deeskalasi dan pengurangan ketegangan. Itu adalah hal yang baik,” kata Sullivan.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengungkap peran penting Cina dalam tercapainya pemulihan hubungan antara negaranya dan Iran. Menurutnya, salah satu faktor signifikan mengapa Beijing mampu mengemban tugas sebagai mediator adalah karena ia memiliki hubungan baik dengan kedua negara.
“Cina memiliki hubungan positif dengan kedua belah pihak, yang berkontribusi untuk menyelaraskan pandangan dan menyoroti keprihatinan sah Kerajaan (Saudi),” kata Pangeran Faisal dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Saudi, Al-Sharq Al-Awsat, dikutip laman Al Arabiya, Senin (13/3/2023).
Salah satu keprihatinan Saudi adalah tentang program nuklir Iran. Meski telah memulihkan hubungan, Pangeran Faisal menyerukan Iran agar tetap berkomitmen pada kewajiban nuklirnya dan meningkatkan kerja samanya dengan Badan Energi Atom Internasional. Dia mengulangi seruan agar wilayah Teluk dan Timur Tengah bebas dari senjata pemusnah massal.
“Kami berharap mediasi Cina atas perjanjian (pemulihan hubungan dengan Iran) tersebut akan berkontribusi untuk meningkatkan koeksistensi dan keamanan bersama di wilayah kami, dan meningkatkan hubungan bertetangga antar negara,” ucap Pangeran Faisal.
Pada Jumat (10/3/2023) pekan lalu, Iran dan Arab Saudi mengumumkan tentang pemulihan hubungan diplomatik antara kedua negara. Kesepakatan itu tercapai setelah perwakilan Teheran dan Riyadh menggelar pembicaraan di Beijing, Cina. Negeri Tirai Bambu bertindak sebagai mediator dalam proses tersebut.
“Sebagai hasil dari pembicaraan tersebut, Iran dan Arab Saudi setuju untuk melanjutkan hubungan diplomatik serta membuka kembali kedutaan dalam waktu dua bulan,” kata kantor berita Iran, Islamic Republic News Agency (IRNA), dalam laporannya Jumat pekan lalu.
Kantor berita Arab Saudi, yakni Saudi Press Agency (SPA), mengonfirmasi tercapainya kesepakatan rekonsiliasi dengan Iran. SPA menyebut, Saudi dan Iran sepakat menghormati kedaulatan negara dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Menurut SPA, Riyadh dan Teheran pun sepakat mengaktifkan perjanjian kerja sama keamanan yang ditandatangani pada 2001.
Saudi memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran pada 2016. Langkah itu diambil setelah Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran digeruduk dan dibakar massa pengunjuk rasa. Penggerudukan itu terjadi saat warga Iran berdemonstrasi memprotes keputusan Saudi mengeksekusi mati ulama Syiah bernama Nimr al-Nimr.