Tentara Myanmar Bantah Lakukan Pembunuhan Massal Warga Sipil

Junta Myanmar justru menyalahkan kelompok perlawanan pro-demokrasi anti pemerintah.

EPA-EFE/STRINGER
File foto orang-orang berjalan di jalan kosong di Yangon, Myanmar,1 Februari 2023. Pemerintah militer Myanmar membantah laporan internasional, soal terjadinya pembunuhan massal kepada warga sipil oleh tentaranya. Myanmar justru menyalahkan kelompok perlawanan pro-demokrasi anti pemerintah Junta militer atas kematian lebih dari 20 orang, termasuk tiga orang biksu Buddha dan seorang wanita.
Rep: Amri Amrullah Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemerintah militer Myanmar membantah laporan internasional, soal terjadinya pembunuhan massal kepada warga sipil oleh tentaranya. Myanmar justru menyalahkan kelompok perlawanan pro-demokrasi anti pemerintah Junta militer atas kematian lebih dari 20 orang, termasuk tiga orang biksu Buddha dan seorang wanita.

Baca Juga


Anggota kelompok perlawanan bersenjata yang menentang pemerintah militer mengatakan mayat 22 orang ditemukan pada Sabtu malam di kompleks biara Buddha di desa Nam Nein, di bagian selatan Negara Bagian Shan di Myanmar timur. Mereka menyalahkan tentara atas kematian puluhan orang tersebut.

Namun tidak ada saksi independen yang muncul. Pembatasan ketat oleh pemerintah militer Myanmar pada akrivitas perjalanan dan informasi membuat hampir tidak mungkin menghadirkan saksi untuk memverifikasi rincian insiden semacam itu.

Desa itu terletak sekitar 80 kilometer (50 mil) di timur ibu kota, Naypyitaw. Daerah tersebut merupakan bagian dari Zona Pemerintahan Sendiri dari etnis minoritas Pa-O. Wilayah itu diatur oleh Organisasi Nasional Pa-O, atau PNO, yang bersekutu dengan pemerintah Junta militer. Sementara kelompok Pa-O lainnya ikut mendukung perlawanan kepada pemerintah Junta militer.

Laporan pembunuhan itu muncul sekitar seminggu setelah tuduhan dimana awal bulan Maret ini terdapat pasukan yang mengamuk di beberapa desa di Myanmar barat. Mereka melakukan pemerkosaan dan pemenggalan serta menewaskan sedikitnya 17 orang warga sipil di sana.

Kritik terhadap militer mengatakan ada bukti kuat bahwa tentara telah berulang kali melakukan kejahatan perang sejak merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Penentangan terhadap kekuasaan militer telah berubah menjadi apa yang oleh beberapa pakar PBB digambarkan sebagai perang sipil.

Awal bulan ini, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Türk menuduh para jenderal yang berkuasa menerapkan kebijakan bumi hangus dalam upaya untuk membasmi kelompok oposisi.

Kelompok perlawanan anti-pemerintah dan penduduk desa yang melarikan diri dari Desa Nam Nein, sebelumnya tetapi tetap berhubungan melalui telepon dengan biara mengatakan sekitar 30 orang berlindung di bangunan utamanya sejak pertempuran di daerah itu meningkat bulan lalu.

Sementara tepatnya apa yang terjadi pada Sabtu pagi semakin tidak jelas, tetapi setelah aksi kekejaman itu justru muncul dokumentasi dalam foto dan video. Seperti yang dirilis di media sosial oleh Pasukan Pertahanan Kewarganegaraan Karenni yang anti-pemerintah menunjukkan para biksu dan pria lain dengan luka tembak tergeletak di dekat dan di dinding bangunan utama biara. Mereka juga menunjukkan tumpahan darah dan lubangan peluru membekas di dinding.

Di daerah Pa-O berada di sebelah Negara Bagian Kayah, di mana suku Karenni, sebagai etnis minoritas yang berperang melawan pemerintah, dominan disana. Seorang pemimpin lokal gerilyawan Karenni yang mengambil foto mengatakan bahwa penembak jitu kelompoknya di daerah sekitarnya telah menggunakan teropong senapan mereka. Dimana dengan teropong itu, menyaksikan sekitar 100 tentara pemerintah yang menembakkan senjata dan membakar rumah warga, saat tentara memasuki desa pada Sabtu pagi.

Dia mengatakan para penembak jitu tidak dapat menonton lebih banyak, karena mereka harus mundur ketika mendapat serangan dari pesawat pemerintah. Gerilyawan Karenni, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut pembalasan oleh militer, mengakui bahwa pasukannya tidak menyaksikan langsung pembunuhan tersebut. Tetapi mereka hanya melihat mayat setelah tentara pemerintah memasuki desa pada Sabtu malam dan akhirnya mengambil foto pasca kejadian itu.

Dia membantah keras bahwa pasukan perlawanan bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, seperti yang dituduhkan oleh tentara dan pendukungnya.

Mayor Jenderal Zaw Min Tun, juru bicara dewan militer yang berkuasa di Myanmar, mengatakan bahwa kekerasan tersebut diprakarsai oleh pasukan perlawanan yang menyergap pasukan tentara Myanmar dan anggota pasukan milisi terkait, dan kemudian memasuki desa tempat pertempuran berlanjut.

Dia menggambarkan pasukan perlawanan, Partai Progresif Nasional Karenni, sebuah milisi etnis minoritas yang ikut memerangi tentara junta Myanmar, dan sekutu mereka di Pasukan Pertahanan Nasionalitas Karenni dan Pasukan Pertahanan Rakyat, sebagai kelompok teroris. Kelompok ini yang telah mengancam daerah tersebut sejak awal tahun ini.

Karenni telah berjuang selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar dari pemerintah Junta militer. Sementara Pasukan Pertahanan Rakyat dibentuk oleh gerakan pro-demokrasi, setelah pengambilalihan pemerintahan Myanmar oleh kelompok militer tahun 2021, dan bersekutu dengan kelompok-kelompok lain termasuk seperti Karenni.

“Ketika (para) kelompok teroris melepaskan tembakan dengan keras, terlihat bahwa beberapa penduduk desa tewas dan terluka,” kata juru bicara militer dalam wawancara yang diterbitkan Selasa di surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah.

Zaw Min Tun mengatakan bahwa tentara hanya melakukan serangan balik terhadap tiga kelompok perlawanan, dan laporan bahwa tentara Junta militer bertanggung jawab atas pembunuhan penduduk desa adalah informasi yang salah.

Seorang warga Desa Nam Nain berusia 45 tahun yang meninggalkan desa itu pada akhir Februari lalu karena pertempuran, mengatakan kepada The Associated Press bahwa dia telah berhubungan setiap hari melalui telepon dengan biksu ketua biara, yang menolak permintaannya untuk pergi.

“Biksu itu menelepon saya pada jam 8 pagi pada hari Sabtu. Dia berkata \'Mereka masuk ke desa. Saya bisa mendengar suara tembakan dan artileri,’ dan dia tiba-tiba menutup telepon,” kata warga desa, yang berbicara tanpa menyebut nama karena dia takut dihukum oleh pihak pemerintah yang berwenang.

“Dia tidak bisa mengatakan kelompok mana yang masuk. Jadi tidak jelas siapa yang membunuh orang-orang itu,” kata warga tersebut, Senin. Dia menambahkan bahwa biksu itu, yang merupakan keponakannya, dan dua saudara iparnya, termasuk di antara mereka yang tewas.

Seorang sesepuh desa yang juga meninggalkan Nam Nein pada akhir Februari mengatakan kepada AP bahwa semua yang terbunuh di kompleks biara adalah warga sipil yang tetap tinggal untuk membantu merawat para biksu.

“Lebih dari 20 orang yang terbunuh di biara hanyalah penduduk desa kami. Mereka bukan anggota PDF, bukan tentara dan anggota PNO,” kata warga desa, yang berbicara tanpa menyebut nama karena takut dihukum oleh pihak berwenang dan pasukan pro-demokrasi setempat.

Manny Maung, peneliti Human Rights Watch, berspekulasi bahwa letak desa yang relatif dekat dengan ibu kota negara mungkin menyebabkan militer bertindak untuk mencegah aktivitas gerilya di daerah tersebut.

“Tidak mungkin bagi pemverifikasi independen atau peneliti independen untuk masuk. Tapi itu memiliki ciri klasik kekejaman militer,” katanya.

“Saya pikir jika kita tidak mendapatkan kesempatan untuk masuk sekarang, kemungkinan besar kita tidak akan pernah tahu siapa pelaku sebenarnya," ujar Maung.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler