Studi: Ribuan Muslim Prancis Memilih Bekerja di Luar Negeri Akibat Islamofobia
Muslim di Prancis mengalami diskriminasi di tempat kerja
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Prancis adalah rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa. Namun, diskriminasi di negara itu mendorong banyak profesional Muslim mencari peluang kerja yang lebih baik di masyarakat yang lebih toleran dan menerima keyakinan agama mereka.
Sebuah studi baru oleh University of Lille, yang dipimpin Profesor Olivier Esteves, mengungkapkan Muslim dengan pendidikan tinggi meninggalkan Prancis dalam jumlah besar menuju Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Dubai. Survei ini melibatkan 1.074 Muslim yang meninggalkan negara itu.
Dari hasil yang didapat, Esteves berpendapat lebih dari dua pertiga melaporkan mereka pindah untuk menjalankan agama mereka dengan lebih bebas. Sementara 70 persen di antaranya mengatakan mereka pergi untuk menghindari insiden rasisme dan diskriminasi.
Dia pun menyimpulkan, para pekerja profesional Muslim dengan keterampilan yang dibutuhkan ini sudah merasa muak dengan cara mereka diperlakukan di negara itu.
“Ironisnya, Prancis membiayai pendidikan orang-orang ini, tetapi negara kehilangan bakat yang sangat terampil itu karena Islamofobia institusional yang merajalela,” kata Esteves dikutip di Yeni Safak, Rabu (15/3/2023).
Seorang manajer proyek keuangan, Natasa Jevtovic, memilih pindah ke Inggris dari Prancis pada 2020. Kepergiannya ini membawa harapan dapat menjalankan kepercayaannya dengan lebih mudah, serta tawaran kesempatan kerja yang lebih baik dan sesuai dengan keahliannya.
Keputusannya untuk pindah ini terbayarkan. Sebab, sejak pindah ke London dia telah dipromosikan beberapa kali dan sekarang memiliki penghasilan dua kali lipat dari posisi awal.
Sebelumnya, dia pernah mendapat komentar rasis di bank Prancis terkemuka. Kala itu dia diancam sang manajer akan dipecat, karena menghadapi dan menuduh rekan-rekannya melakukan diskriminasi.
“Orang-orang menggunakan istilah rasis dan kemudian saya meminta mereka untuk berhenti. Sejak saat itu, tidak ada yang mau makan siang dengan saya. Tidak ada yang mau berbicara dengan saya selama enam bulan ke depan, saya diboikot," kata perempuan berusia 38 tahun ini.
Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?
Jevtovic merupakan salah satu dari banyak profesional Muslim yang sangat terampil, tetapi tidak merasa diterima di Prancis. Karena alasan itu, mereka pun mengambil kesempatan untuk menunjukkan keterampilannya di tempat yang lebih menghargai mereka.
Seorang analis politik Prancis dan advokat hak asasi manusia yang saat ini menjabat sebagai ketua Komite Keadilan dan Liberties (CJL), Yasser Louati, mengatakan kurangnya kebebasan beragama menjadi alasan mengapa profesional Muslim meninggalkan Prancis.
Louati berpendapat Prancis kehilangan bakat yang sangat terampil, karena meluasnya Islamofobia institusional. "Satu-satunya pecundang di sini adalah Prancis," ucap dia.
Mereka yang meninggalkan Prancis pada dasarnya dilatih dan dididik di Prancis melalui pendanaan publik. Ini berarti tidak ada pengembalian investasi, serta ekonomi saingan mengambil untung dari mereka yang berlatar belakang kaya, baik dalam hal pendidikan, maupun budaya.
“Jadi, kita harus bertanya, seberapa pintar pembuat kebijakan kita membiarkan orang-orang ini meninggalkan negaranya dan bekerja untuk ekonomi, di dunia global di mana Prancis menjadi bebek yang lumpuh,” kata Louati.
Ketika melakukan diskriminasi, biasanya orang tersebut akan didorong ke pengasingan. Namun, dia merasa keluar dari lokasi tersebut bukanlah jawabannya, melainkan menghadapi kebijakan ini.
Menurutnya, Muslim yang tinggal di Prancis didiskriminasi dalam hal pendidikan, mendapatkan pekerjaan, membeli rumah, bahkan terkadang akses ke perawatan kesehatan.
Louati menyebut pembuat kebijakan nasional lebih suka melewatkan peluang yang memungkinkan orang menjadi setara. Kondisi ini terlalu buruk untuk Perancis.
"Dan sejujurnya, saya salut dengan negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang memberikan kesempatan yang adil kepada pemuda dan pemudi ini,” ucap dia.
Sejak 2015 pemerintah Prancis telah mengadopsi berbagai undang-undang, yang menurut umat Islam membatasi kebebasan beragama. Termasuk salah satunya undang-undang yang disahkan pada 2016, yang melarang pemakaian jilbab di tempat kerja.
Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah
Sementara Pada 2017, Presiden Prancis Emanuel Macron dan pemerintah sentrisnya mengesahkan undang-undang yang menempatkan para imam di bawah pengawasan ketat pemerintah. Pemerintah juga telah menutup masjid, kelompok yang dipimpin Muslim, badan amal, maupun nirlaba tanpa proses hukum.
Tidak hanya itu, Louati juga menyebut kebijakan semacam itu telah menciptakan budaya permusuhan. Pada gilirannya nanti, kebijakan ini akan bertanggung jawab atas kebangkitan Islamofobia di negara ini.
Penggambaran negatif Muslim di media Prancis diintensifkan selama kampanye presiden 2022, oleh kandidat sayap kanan Marine Le Pen dan Eric Zemmour. Mereka mendedikasikan sebagian besar isi kampanye perihal ancaman Islam.
Sumber: yenisafak