Ketua RT yang Bubarkan Ibadah Jemaat Gereja Kemah Daud Jadi Tersangka dan Ditahan

Pada Februari, video Wawan membubarkan ibadah Gereja Kristen Kemah Daud sempat viral.

Republika/Mursalin Yasland
Gedung Gereja Kristen Kemah Daud di Jl Anggrek, Rajabasa, Kota Bandar Lampung. Ketua RT bernama Wawan yang sempat membubarkan ibadah jemaat gereja itu dan viral di media sosial kini jadi tersangka dan ditahan oleh Polda Lampung. (ilustrasi)
Rep: Mursalin Yasland Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Wawan (42), Ketua RT yang mendatangi gereja dan membubarkan ibadah jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Lampung pada Ahad (19/2/2023) lalu ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polda Lampung. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Wawan juga ditahan pada Rabu (15/3/2023) malam.

"Upaya penyelidikan dan penyidikan kami telah melakukan pemeriksaan saksi-saksi sebanyak 15 orang," kata Kabid Humas Kombes Polisi Zahwani Pandra Arsyad di Polda Lampung, Kamis (16/0/23)

Pandra mengatakan, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap 15 saksi, ahli agama, maupun ahli Hukum Pidana. Dia mengatakan, pemeriksaan terhadap tersangka Wawan dengan persangkaan dugaan perbuatan pidana Pasal 156a huruf a KUHP dan atau Pasal 175 KUHP dan atau Pasal 167 KUHP telah selesai dilaksanakan. 

Dalam perkara tersebut telah dilakukan penyitaan barang bukti berupa rekaman CCTV, video, surat kesepakatan, surat izin, dan surat tanda lapor. “Rencana tindak lanjut melengkapi berkas perkara dan kirim tahap I JPU Kejati Lampung dan limpah berkas dan tersangka untuk tahap 2 JPU," kata Pandra.

Tindakan Ketua RT Wawan Kurniawan dan beberapa warga mendatangi jemaat GKKD di Jl Anggrek, videonya sempat viral di media sosial. Wawan memimpin pembubaran ibadat yang sedang berlangsung dengan memasuki aula. Meski sempat dilerai pihak gereja, namun Wawan tetap ngotot membubarkan kegiatan yang dinilainya belum memiliki izin.

 

Ketua RT 12 Wawan Kurniawan yang membubarkan jemaat GKKD ditahan Polda Lampung, Rabu (15_3/2023) malam. - (Dok. Polda Lampung)

 

Pada Selasa (21/2/2023), Republika menemui perwakilan jemaat GKKD Parlin Sihombing di gerejanya. Parlin mengaku belum mendapatkan izin penggunaan gereja untuk ibadat jemaat GKKD. Menurut dia, pihak GKKD sudah mengajukan izin sejak 2014 dengan mendapat persetujuan 60 KTP pendukung yang dipersyaratkan, dengan melampirkan tandan tandan dan KTP warga sekitar, dan 90 KTP pengguna gedung ibadat.

“Dalam permohonan itu, sudah diketahui RT lama Pak Iwan dan Kepala Lingkungan dan Bhabinkamtibmas, dan Babinsa. Artinya, jadi sudah sampai perangkat RT, dari situ kami ajukan ke kelurahan. Di situlah awalnya mula kericuhan,” kata Parlin Sihombing.

 

 

 

 

 

 

Sedangkan Lurah Rajabasa Jaya Sumarno mengatakan, insiden tersebut hanya miskomunikasi kedua belah pihak. Sebenarnya, pihak jemaat diberi batas waktu Maret 2023 untuk membuat izin lingkungan. Gedung ini (gereja) pernah dipakai, setelah itu dikunci lagi, tetapi sejak Februari 2023 dipakai lagi untuk ibadat.

“Tetapi proses izinnya tidak dikerjakan. Mereka memaksa memakai tempat ini untuk ibadat,” kata Lurah Rajabasa Jaya Sumarno saat ditemui Republika.

Menurut dia, pihak pemerintah dan pamong setempat tidak melarang aktivitas ibadat jemaat GKKD asalkan sesuai dengan peraturan yang ada. “Bukannya kami melarang tapi karena izinnya belum ada untuk sementara untuk tidak digunakan dulu,” kata Sumarno.

Sumarno mengatakan, sejak dulu pihak jemaat GKKD belum pernah mengajukan izin. Pada 2014 memang pernah ada pengajuan izin, akan tetapi berdasarkan argumen dan pernyataan warga bukan minta izin untuk rumah ibadah tapi sebatas berkaitan dengan pemilihan anggota legislatif dengan meminta tanda tangan.

Warga sekitar melarang dan tidak mengizinkan gedung/rumah tinggal itu dijadikan gereja karena penduduk sekitarnya mayoritas Muslim. Sedangkan, mayoritas jemaat GKKD ini berasal dari luar lingkungan mereka atau pendatang.

Marlena (48 tahun), ibu rumah tangga di Jl Anggrek, mengatakan mayoritas di lingkungan tempat tinggalnya muslim, dan bisa dihitung kalau ada warga nonmuslim. “Artinya, tidak mungkin ada gereja, kalau warganya banyak muslim,” tuturnya.

Menurut dia, keberadaan rumah tinggal dijadikan gereja untuk jemaat beribadat sudah menjadi biasa. Padahal, jemaatnya berasal dari luar lingkungan tempat tinggal tersebut, dan dinilai mengganggu aktivitas warga yang Muslim di lingkungan tersebut. 

“Kalau memang mayoritas warganya nonmuslim, silakan dirikan gereja, tidak masalah,” ujar ibu tiga anak tersebut.

 

Masjid yang berubah jadi gereja di Italia (ilustrasi) - (republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler