Bawaslu Sebut Putusan Penundaan Pemilu Posisikan Penyelenggara Dilematis

Isu penundaan pemilu dinilai melemahkan kepercayaan masyarakat pada sistem demokrasi.

ANTARA/Aditya Pradana Putra
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja (kanan) didampingi anggota Bawaslu Herwyn Malonda (kiri) menyampaikan paparan kepada wartawan di Kantor Bawaslu, Jakarta, Kamis (5/1/2023). Rahmat beserta jajarannya menyampaikan catatan kinerja pengawasan Pemilu Tahun 2022 dan proyeksi kerja Bawaslu pada tahun 2023.
Rep: Febryan A Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menempatkan penyelenggara pemilu pada posisi dilematis. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memerintahkan KPU RI menunda pelaksanaan Pemilu 2024.

"Kalau mau mengubah (aturan pemilu), ya itu di Undang-Undang Dasar, tidak melalui putusan pengadilan, tentu tidak elok lah. Namun, kita harus menghormati putusan pengadilan. Itu permasalahan penting yang jadi permasalahan bagi kita, dilematis bagi penyelenggara pemilu," kata Bagja usai acara Seminar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, Jakarta, Jumat (17/3/2023).

Hal tersebut, kata Bagja, karena penyelenggara pemilu menghadapi sebuah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum, di mana kekuasaan hakim dalam memutus suatu perkara diatur dalam Pasal 24 UUD 1945. "Itu harus dihormati sebagai kemandirian hakim, hakim itu paling penting prinsipnya mandiri, tidak boleh diintervensi dalam hal putusan-nya," ujarnya.

Di sisi lain, lanjut dia, penyelenggara pemilu dihadapkan pula pada amanat Pasal 22 UUD 1945 yang menyebutkan pemilu dijalankan setiap lima tahun sekali. "Pasal 22 menyatakan bahwa pemilu itu lima tahun sekali. Ada juga penyelenggara pemilu dan tahapan sudah berjalan. Ini lah yang menjadi posisi dilematis bagi penyelenggara negara," ujarnya.

Sehingga, Bagja menyebut mau tak mau penyelenggara pemilu dihadapkan pada posisi dilematis yang akan menjadi persoalan ke depannya. "Hal itu akan menyangkut pada transparansi dan akuntabilitas kami sebagai penyelenggara pemilu. Kalau tidak dianggap, itu putusan pengadilan, tapi kalau kita laksanakan, itu persoalan besar juga dalam sistem penegakan hukum pemilu-nya," tuturnya.

Ia pun berharap penyelenggara pemilu beroleh jalan keluar dari persoalan yang kini tengah dihadapi, lantaran tahapan Pemilu 2024 saat ini sudah berjalan. "Insya Allah mungkin ada jalan keluarnya ke depan sehingga tidak ada lagi isu-isu penundaan pemilu, sehingga kemudian pemilu itu tidak di rong-rong oleh isu-isu seperti ini lagi, penundaan, kemudian isu tiga periode dan lain-lain," ujarnya.

Bagja menilai isu penundaan pemilu yang berlarut hanya akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan. "Bagaimana masyarakat percaya jika isu ini selalu digoreng terus?" imbuhnya.

Terlebih, ujar dia, penyelenggara pemilu yang akan menjadi pihak pertama yang akan dituding pertama kali apabila Pemilu 2024 batal dilaksanakan tepat waktu. "Karena kalau tunda jadi ataupun pemilu gagal yang disalahkan pasti KPU dan Bawaslu berikut DKPP, karena ini adalah tugas kami sebagai penyelenggara pemilu," kata Bagja.

Sebelumnya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023), majelis hakim mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap KPU. Dalam putusannya, PN Jakpus meminta KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari.

"Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari," ujar majelis hakim yang diketuai oleh Oyong, dikutip dari putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

Baca Juga


sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler