Pelaku Usaha Thrifting di Bogor Mulai Kekurangan Stok Imbas Larangan Impor

Biasanya dalam sehari Minid mendapatkan Rp 1 juta, kini, hanya Rp 700 ribu.

Republika/Shabrina Zakaria
Salah seorang pedagang pakaian impor bekas atau thrifting di Plaza Bogor, Kota Bogor, Selasa (21/3/2023).
Rep: Shabrina Zakaria Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR— Salah seorang pedagang impor pakaian bekas atau thrifting di Kota Bogor, Minid (60 tahun), mulai merasakan dampak dari larangan impor pakaian bekas. Minid yang telah berdagang di Plaza Bogor, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor sejak 2007 merasakan berkurangnya stok barang baru.

Menurut Minid, berkurangnya stok barang baru diakibatkan gudang-gudang pakaian impor bekas di Pasar Senen mulai tutup. Alhasil, ia harus menjual barang dengan stok lama sembari menunggu stok barang baru bisa didapatkannya kembali.

“Terasa (dampaknya). Sepekan ini nggak ada barang baru. Jadi harus jualan barang lama. Yang ada aja dulu. Kalau datang baru belum ada kepastian,” kata Minid ketika ditemui Republika.co.id di kiosnya, Selasa (21/3/2023).

Tak hanya dirinya, menurut Minid, pedagang thrifting lain juga mengalami hal yang sama. Sehingga para pedagang ini kerap ditanya oleh pelanggannya terkait stok barang baru.

Minid sendiri biasanya mengambil satu bal pakaian impor bekas dari Pasar Senen seharga Rp 6 juta hingga Rp 7 juta. Dimana dalam satu bal, bisa berisi 200 hingga 400 potong pakaian, tergantung model dan kualitasnya.

“Ada risiko barang rusak, biasanya 7 banding 3 antara yang bagus dan yang rusak. Kalau bagus ya bisa dijual, untungnya banyak yang bagus,” tuturnya.

Pakaian-pakaian impor bekas itu, dijual Minid seharga Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu. Tergantung merk, model, serta kualitas pakaian yang didapatnya.

Jika dagangannya laku keras, Minid bisa mendapatkan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per hari. Namun, beberapa waktu belakangan, pakaian impor bekas yang dijualnya hanya laku Rp 700 ribu per hari.

Berdasarkan prediksinya, meredupnya pelanggan thrifting atau thrifter ini tidak hanya disebabkan oleh larangan impor pakaian bekas. Namun juga disebabkan oleh salah satu pusat perbelanjaan di Plaza Bogor yang tutup beberapa waktu lalu.

“Pengaruh ke penjualannya, apalagi Pasar Bogor mau ditutup. Mau dagang ke mana lagi kita,” keluhnya.

Pria asal Sumatra Barat ini mengakui sudah menerima informasi terkait larangan impor pakaian besar. Dimana larangan itu tertuang dalam Permendag Nomor 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Dalam Pasal 2 Ayat 3 tertulis bahwa barang dilarang impor, salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.

“Sudah tahu, efeknya ke seluruh Indonesia kan banyak pedagang barang impor bekas. Tapi kalau disetop, nanti saya nggak bisa jualan lagi. Sudah, habis harapan pedagang barang impor (bekas),” ujarnya.

Kendati demikian, dia berharap ada kebijakan baru terkait pedagang barang bekas impor. Mengingat banyak pedagang yang menaruh harapan hidupnya pada aktivitas thrifting tersebut.

“Takut kalau diberantas semua, bisa apa lagi? Saya dagang apa lagi? Pegawai ada tiga orang, saya juga nggak ada usaha lain,” tutur pria berjanggut putih ini.

Sementara itu, salah seorang pelanggan thrifting bernama Mayang (24), merasa sedih apabila thrifting atau impor pakaian bekas dilarang. Sebab, menurutnya hanya pakaian berukuran dari luar negeri yang cocok di tubuhnya.

Mayang sendiri kerap berbelanja ke beberapa pasar pakaian bekas seperti di Pasar Senen Jakarta, Gede Bage Bandung, dan sejumlah ruko di Bogor setiap satu hingga dua bulan sekali. Dengan dilarangnya impor pakaian bekas, ia meyakini akan kesulitan mencari pakaian, celana, dan jaket yang seukuran dirinya.

“Tapi kalau misalnya pemerintah melarang dan ada solusi lain, menurut saya nggak jadi masalah harusnya. Karena kan nggak semua orang punya uang. Dengan adanya thrifting, orang-orang bisa tetap bergaya dengan barang yang relatif lebih murah,” jelasnya.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler