Tantangan Puasa di Berbagai Belahan Dunia: Durasi 21 Jam Hingga Tantangan Suhu Ekstrem

Muslim di Kuwait yang berpuasa di bawah suhu 50 derajat Celsius.

EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Seorang pria membaca Alquran di hari pertama bulan puasa Ramadhan di sebuah masjid di Sanaa, Yaman,Kamis (23/3/2023). Tantangan Puasa di Berbagai Belahan Dunia: Durasi 21 Jam Hingga Tantangan Suhu Ekstrem
Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramadhan adalah ujian iman bagi banyak Muslim di seluruh dunia guna meningkatkan ketaqwaan. Untuk itu, durasi puasa antara satu negara dengan negara lain di belahan bumi ini bisa jadi berbeda-beda bagi umat Islam.

Dilansir di The Peninsula Qatar, Jumat (24/3/2023), selama Ramadhan, orang-orang menghargai hal-hal yang mereka miliki sekaligus menerima sedikit rasa dari apa yang harus dialami oleh orang-orang yang kurang beruntung. Populasi Muslim dunia melebihi satu miliar, dengan orang-orang yang beragama Islam tersebar di berbagai belahan dunia.

Mengingat persebaran orang-orang ini dan keunikan situasi setiap negara, ada banyak Muslim yang imannya diuji dengan cara yang jauh lebih ekstrem daripada yang lain. Muslim Islandia, misalnya, berpuasa paling lama dibandingkan dengan umat Muslim di wilayah lain.

Islandia memiliki waktu yang aneh. Dengan lebih dari 17 jam siang hari per hari yang dialami hampir sepanjang tahun. Adapun populasi Muslim di Islandia sangat kecil, yakni kurang dari 400 orang menurut data statistik. Mereka harus menjalani periode atau durasi puasa yang lebih lama.

Pada 2018, CNBC melaporkan umat Islam di Islandia berpuasa selama lebih dari 21 jam. Karena kedekatan Islandia dengan kutub utara dunia, waktu itu sendiri menjadi fenomena yang aneh. Terkadang matahari tidak terbenam di Islandia selama berhari-hari dan terkadang matahari hanya muncul selama empat hingga lima jam sehari.

Baca Juga


Untuk menawarkan solusi untuk ini, ulama Islam menyarankan umat Islam yang tinggal di daerah ini berpuasa menurut negara terdekat tanpa siang hari terus-menerus, negara mayoritas Muslim terdekat, atau hanya mengikuti waktu Arab Saudi. Direktur Yayasan Islam Islandia melaporkan kepada CNBC bahwa komunitas Muslim di negara itu, dan dirinya sendiri, memilih hidup 21 jam tanpa makanan dan air.

"Beberapa orang tidak dapat menerima mereka akan makan saat matahari terbit, bahkan jika sudah mendekati tengah malam, karena mereka terbiasa menunggu di negara asalnya. Jadi mereka akan pergi pada waktu setempat. Yang lain dapat menerima mereka harus makan bahkan saat matahari sebagian terbit," ujarnya.

Beda halnya dengan orang-orang di Kuwait yang berpuasa di bawah suhu 50 derajat Celsius. Ujian puasa di bulan Ramadhan bagi mereka adalah fisik sekaligus spiritual. Terik matahari yang menggantung di atas kepala, sementara mereka harus berpantang air selama lebih dari 12 jam membuat puasa menjadi hal yang sulit.

Di Kuwait, suhunya sering mencapai 50 derajat Celsius, dengan kawasan Mitribah di Kuwait mencatat suhu terpanas pada 2016 sebesar 54 derajat Celsius. Meskipun Mitribah bukanlah daerah permukiman, Kuwait tetap menjadi tempat yang sangat panas.. Menurut The New Arab, panas telah menyebabkan banyak kebakaran di masa lalu karena orang harus menyalakan AC meskipun mereka tidak berada di rumah.

The New Arab juga mengutip Wakil Menteri Listrik, Air, dan Energi Terbarukan Kuwait yang mengatakan suhu tinggi telah menyebabkan kelebihan beban pada generator listrik. Ini menyebabkan beberapa pemadaman listrik di banyak tempat di seluruh negeri.

Hal ini menambah penderitaan orang yang berpuasa di sana. Pemerintah Kuwait sering memperingatkan warganya tidak berada di luar pada waktu pagi di bulan Ramadhan untuk menghindari komplikasi kesehatan terkait terkena panas terik saat berpuasa. Orang-orang di Yaman berpuasa melalui krisis kelaparan.

Puasa bisa melelahkan dan menyusahkan, tetapi pada akhirnya, orang bisa berbuka puasa dan menikmati rezeki. Namun, bagi sebagian orang di Yaman, negara yang paling terkena dampak kelaparan dan kekurangan gizi menurut Global Hunger Index 2022 ini, terkadang makanan tidak pernah datang dan seringkali makanan tidak pernah cukup.

“Hari ini adalah hari pertama Ramadhan, saya hanya memiliki sedikit tepung dan satu telur untuk memberi makan keluarga saya,” kata seorang ibu asal Yaman, Afrah (34 tahun).

Dia mengatakan yang dia mampu untuk memberi makan anak-anaknya hanyalah roti dan air. Yaman, negara yang dilanda perang, menderita krisis pangan akut yang menghantui setengah dari populasinya. Negara ini memiliki populasi lebih dari 30 juta orang.

WFP melaporkan 17 juta orang di Yaman menderita kerawanan pangan, sementara 23,4 juta membutuhkan bantuan kemanusiaan. Badan-badan PBB juga melaporkan sekitar 19 juta orang, enam dari sepuluh orang menghadapi kerawanan pangan akut di Yaman. Lebih dari tiga juta orang menderita kekurangan gizi akut.

"Kami berpuasa setiap hari sepanjang tahun sekarang. Tidak ada perbedaan antara bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya," kata Afrah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler