Pengamat UGM: Pelarangan Impor Baju Bekas Harus Diikuti Peningkatan Kualitas Produk Lokal

Akar masalahnya adalah masyarakat menengah ke bawah yang butuh sandang murah.

Republika/Eva Rianti
Aktivitas penjualan pakaian bekas atau thrifting impor di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Senin (20/3/2023).
Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah melarang impor pakaian bekas dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Pelarangan impor pakaian bekas ini dalam rangka melindungi para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Kebijakan ini menimbulkan keresahan di kalangan pedagang yang selama ini sangat bergantung dari penjualan baju bekas impor.


Menanggapi kebijakan pelarangan baju impor baju bekas ini, pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM Eddy Junarsin menilai kebijakan pemerintah ini memang bertujuan untuk melindungi pelaku UMKM namun menurutnya kebijakan itu harus diikuti dengan peningkatan kualitas dari produk sandang di tanah air. Sebab menurut Eddy Junarsin permintaan baju bekas impor awalnya berangkat dari persoalan di kalangan masyarakat menengah ke bawah yang membutuhkan sandang murah.

"Maraknya penjualan baju bekas impor awalnya karena kebutuhan masyarakat yang ingin sandang murah, pakaian bekas impor jadi pilihan," kata Eddy Junarsin kepada wartawan, di kampus FEB UGM, Senin (27/3/2023).

Meskipun impor pakaian bekas awalnya untuk memenuhi kebutuhan sandang murang yang bisa diakses oleh masyarakat kecil, seiring berjalannya waktu produk tekstil UMKM makin berkembang dan bisa memenuhi permintaan lokal dengan kuantitas dan kualitas yang makin membaik,

"Saya kira pada titik itu kebijakan impor pakaian bekas mulai dikurangi atau tidak ada lagi, namun saya kira tidak serta merta mengatasi persoalan karena masih banyaknya celah impor pakaian bekas yang ilegal yang masuk ke Indonesia," ujarnya.

Menurutnya pemerintah sebaiknya perlu berhitung soal kebutuhan sandang untuk memenuhi masyarakat menengah ke bawah yang bisa dipenuhi oleh produk sandang lokal dan kuota yang belum terpenuhi bisa berasal dari produk impor. "Kualitas produk lokal juga harus lebih bagus jangan sampai mudah rusak setelah dipakai dibanding baju bekas impor, desain juga membaik dan produksi massal juga tepat waktu," paparnya.

Sedangkan solusi bagi para para pedagang yang terdampak dari kebijakan ini menurutnya mereka perlu dialihkan untuk memasarkan produk lokal dengan menjadi reseller atau dropshipper.

Soal hasil laporan penelitian yang menyebutkan bahwa menggunakan pakaian bekas impor bisa berisiko menimbulkan dampak kesehatan bagi konsumen karena adanya kandungan infeksi jamur, virus dan bakteri menurut Eddy hal itu tidak begitu efektif untuk mengalihkan perhatian masyarakat kecil untuk berpaling dari pakaian bekas impor. Sebab pakaian bekas impor bagi mereka dikenal lebih murah terjangkau dengan kualitas yang masih bagus. 

"Masyarakat kita lebih sensitif terhadap harga. Tapi mengampanyekan bahwa membeli produk lokal justru lebih aman bakteri, jamur, dan virus saya kira juga bagus juga digaungkan. Pekerjaan pemerintah sekarang ini bagaimana menertibkan impor ilegal  dan di sisi lain produk UMKM makin terus berkembang kualitasnya dan harganya pun bisa bersaing," katanya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler