Imigrasi Berhasil Cegat Dua Warga Bangladesh dengan Visa Palsu
Kedua warga Bangladesh ini mengaku datang ke Indonesia untuk berlibur.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno-Hatta mencegat dua warga negara Bangladesh berinisial SA dan MK setelah terbukti berusaha masuk ke Indonesia menggunakan visa palsu.
"Setelah kami melakukan uji forensik, terbukti bahwa bahan kertas dan tinta yang digunakan kedua tersangka tidak sesuai dengan kualitas cetakan stiker visa Indonesia. Fitur hologram dan cap basah juga tidak kami temukan," ujar Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Soekarno-Hatta Muhammad Tito Andrianto dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Keduanya diketahui mendarat pada 19 Maret 2023 menggunakan pesawat Malindo Air (OD 320) dengan rute Kuala Lumpur-Jakarta pada pukul 08.45 WIB. Tersangka SA (L/30) dan MK (L/26) menggunakan Visa Kuasa Perwakilan palsu yang seolah-olah dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Dhaka.
Memperkuat temuan tersebut, Imigrasi Soekarno-Hatta telah mendapatkan konfirmasi dari KBRI Dhaka bila kedua tersangka tidak pernah mendaftar dan mengumpulkan dokumen persyaratan untuk penerbitan Visa Kuasa Perwakilan.
Tersangka SA dan MK mengaku datang ke Indonesia untuk berlibur dan ingin melihat peluang bisnis berjualan pakaian di Jakarta dan Bali. Namun, pemeriksaan menunjukkan keduanya tidak memiliki ciri dan bukti pendukung yang merujuk pada profil sebagai wisatawan atau pengusaha.
Penyidik Kantor Imigrasi Soekarno-Hatta justru menduga, SA dan MK berusaha menyelundupkan dirinya ke negara lain. Hal ini diperkuat dengan temuan penyidik mengenai seorang agen berinisial KR (laki-laki) warga negara Bangladesh yang aktif memfasilitasi keberangkatan SA dan MK hingga ke Indonesia.
"Penyidik Kantor Imigrasi Soekarno-Hatta justru menemukan keterlibatan sindikat penyelundupan orang dari Bangladesh yang terpantau aktif memfasilitasi keberangkatan SA dan MK hingga ke Indonesia," ujar Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim.
Atas perbuatannya, tersangka SA dan MK dapat dijerat dengan Pasal 121 huruf (b) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp500 juta.