BI Ajak Negara ASEAN Awasi Perkembangan Aset Kripto
BI mencatat terdapat 600 perusahaan aset kripto dan blockchain di ASEAN.
REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Bank Indonesia (BI) mendorong negara-negara di ASEAN untuk bekerja sama mengawal perkembangan aset kripto. Hal tersebut seiring dengan tingginya pertumbuhan industri kripto di kawasan. BI mencatat terdapat 600 perusahaan aset kripto dan blockchain di ASEAN.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan kolaborasi ini penting dilakukan untuk memastikan transaksi kripto dilakukan secara aman. Selain memberikan keuntungan, menurut Perry, transaksi kripto juga mengandung risiko kerugian.
Untuk itu, Perry menegaskan, transaksi kripto perlu diregulasi dan diawasi secara ketat. "Menurut saya kita harus berkolaborasi karena belum ada satu model aturan dan pengawasan kripto di dunia ini," kata Perry saat memberikan keynote speech dalam High Level Seminar From ASEAN to the World: Payment System in The Digital Era di Bali, Selasa (28/3/2023).
Pendekatan lainnya yang harus dilakukan adalah memperkuat koordinasi dengan lembaga-lembaga keuangan global seperti Financial Stability Board (FSB) serta Bank for International Settlements (BIS). Hal ini untuk memastikan regulasi yang dibuat telah sesuai standar dan bisa dipraktikkan di ASEAN.
Meskipun saat ini sudah ada panduan serta beberapa aturan yang sama, Perry menilai penerapannya bisa saja berbeda di setiap negara. Di Indonesia, regulasi dan pengawasan mengenai kripto sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Selain itu, Perry menambahkan, strategi yang juga perlu ditempuh untuk memitigasi risiko aset kripto adalah mendorong bank sentral untuk menerbitkan mata uang digital atau central bank digital currency (CBDC). Melalui BI, Indonesia berencana menerbitkan rupiah digital.