Penyakit Jantung Dapat Muncul Tanpa Gejala, Bagaimana Cara Mendeteksinya?

Faktor risiko utama penyakit jantung ialah merokok, hipertensi, diabetes, kolesterol.

Pixabay
Nyeri dada menjadi salah satu pertanda serangan jantung (Ilustrasi). Menurut Harvard Medical School, diperkirakan 45 persen dari semua serangan jantung datang tanpa gejala.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyakit jantung juga dikenal sebagai "silent killer". Menurut Harvard Medical School, diperkirakan 45 persen dari semua serangan jantung datang tanpa gejala.

Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Annals of Internal Medicine menemukan bahwa hampir setengah dari peserta ditemukan memiliki tanda-tanda penyakit jantung koroner atau aterosklerosis, yakni penumpukan plak di arteri yang dapat membatasi aliran darah. Padahal, mereka sebelumnya tidak memiliki gejala.

Para peneliti dari Rumah Sakit Universitas Kopenhagen, Denmark, mempelajari lebih dari 9.000 orang berusia 40 tahun atau lebih yang tidak memiliki gejala dan tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Dokter menggunakan angiogram, yaitu gambar medis yang menunjukkan bagian dalam jantung untuk menentukan hasilnya.

Baca Juga


Sedikit lebih dari separuh peserta tidak memiliki tanda-tanda penyakit jantung. Namun, 36 persen memiliki "penyakit nonobstruktif", yang berarti ada penumpukan plak di arteri tetapi tidak cukup untuk menyebabkan penyumbatan.

Lalu, 10 persen lainnya memiliki "penyakit obstruktif", yang melibatkan penumpukan plak signifikan yang dapat mempersempit atau menyumbat arteri. Mereka yang menunjukkan penyakit obstruktif dan ekstensif berada pada risiko tertinggi serangan jantung di masa depan.

Dalam waktu sekitar 3,5 tahun, ada 193 orang yang terlibat dalam penelitian tersebut telah meninggal dan 71 orang mengalami serangan jantung. Dilansir Fox News, Ahad (2/4/2023), seorang ahli jantung preventif di Baptist Health Miami Cardiac & Vascular Institute, Florida Selatan, Amerika Serikat, Adedapo Iluyomade, meninjau hasil temuan tersebut.

"Studi ini mendukung pentingnya berfokus pada pencegahan dini dan identifikasi dini pasien, yang dianggap berisiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular di masa depan,” kata dr Iluyomade yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Center for Disease and Control Prevention (CDC) mengatakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung ialah merokok, tekanan darah tinggi, diabetes, obesitas, kolesterol low-density lipoprotein (LDL) tinggi, diet tidak sehat, gaya hidup, dan paparan asap rokok. Beberapa faktor risiko, seperti jenis kelamin dan usia, tidak dapat diubah. Pria memiliki risiko yang lebih tinggi, begitu pula orang yang berusia di atas 65 tahun.

"Tetapi pada saat yang sama, penelitian telah menunjukkan bahwa proses aterosklerosis dimulai sangat awal dan sangat diam-diam," kata dr Iluyomade.

Dokter memperingatkan bahwa sejak usia 10 atau 11 tahun, lapisan lemak sudah dapat ditemukan di arteri. Pada akhirnya, ini dapat berkembang menjadi penumpukan plak yang signifikan di arteri.

"Ada beberapa faktor risiko, seperti genetika, aspek lingkungan, dan peradangan kronis yang tidak dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam kalkulator risiko atau alat penilaian," kata dia.

"Aterosklerosis koroner sering berkembang tanpa adanya gejala karena faktor risiko yang mendasarinya, seperti tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi, biasanya juga tidak menimbulkan gejala," kata seorang ahli jantung di The Ohio State University Wexner Medical Center, dr Jim Liu.

Penting bagi pasien untuk menemui tenaga medis untuk secara rutin memastikan faktor risiko tersebut ditangani. Dr Iluyomade berharap peningkatan ketersediaan pemeriksaan kesehatan jantung untuk orang tanpa gejala dapat membantu menyelamatkan nyawa mereka.

Secara khusus, dr Iluyomade merekomendasikan untuk menjalani tes jantung skrining skor kalsium, yang menggunakan computerized tomography (CT) untuk mendeteksi penumpukan plak di arteri. CT calcium scoring bisa mendeteksi apakah plak di arteri koroner menyumbat aliran darah atau tidak.

"Hanya butuh tujuh menit dan paparan radiasinya minimal," ujar dr Iluyomade.

Pilihan skrining lain adalah CT angiografi, yang digunakan dalam studi Universitas Kopenhagen. Tes ini melibatkan penyuntikan pewarna ke pasien menggunakan infus dan kemudian mengambil gambar pembuluh darah untuk mendeteksi potensi penyumbatan.

Keterbatasan utama dari studi Kopenhagen adalah hanya orang kulit putih di Denmark yang dimasukkan dalam penelitian. Terlepas dari tantangan yang masih ada, dr Iluyomade terdorong dengan kemajuan yang telah dicapai ini.

"Saya pikir ini adalah hari dan usia yang tepat untuk kardiologi preventif, karena kita dapat mendeteksi penyakit sebelum menjadi gejala dan mencegahnya menimbulkan masalah," kata dia.

CDC mengatakan sekitar 697 ribu orang di AS meninggal karena penyakit jantung pada 2020. Itu adalah penyebab utama kematian pria, wanita, dan orang-orang dari sebagian besar kelompok ras dan etnis di Amerika Serikat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler