G7 Desak Taliban Cabut Larangan Perempuan Bekerja di LSM dan PBB

Menlu Rusia, Cina, Iran, dan Pakistan menyerukan Taliban bentuk pemerintahan inklusif

AP Photo/Ebrahim Noroozi
Perempuan Afghanistan menenun wol untuk membuat karpet di pabrik karpet tradisional di Kabul, Afghanistan,Senin (6//32023). Taliban melarang kaum perempuan bekerja di organisasi non-pemerintah dan PBB
Rep: Kamran Dikarma, Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO – Negara anggota G7 mendesak Taliban mencabut larangan kaum perempuan bekerja di organisasi non-pemerintah dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Mereka menilai larangan itu tak dapat diterima karena membatas hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan fundamental.

Baca Juga


“Kami menyerukan pembalikan segera keputusan yang tidak dapat diterima yang membatasi HAM dan kebebasan fundamental, termasuk larangan terbaru yang melarang perempuan Afghanistan bekerja untuk organisasi non-pemerintah serta PBB,” kata para menteri luar negeri (menlu) negara anggota G7 dalam komunike yang dirilis setelah mereka menggelar pertemuan di Karuizawa, Jepang, Selasa (18/4/2023).

Para menlu G7 turut mengecam pelanggaran sistematis HAM terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan. Mereka pun mengkritik diskriminasi otoritas Taliban terhadap anggota agama dan etnis minoritas di negara tersebut.

Pekan lalu, menlu Rusia, Cina, Iran, dan Pakistan menyerukan Taliban untuk membentuk pemerintahan inklusif di Afghanistan. "Para menteri meminta pihak berwenang Afghanistan untuk membentuk pemerintahan inklusif yang melibatkan semua kelompok etnis dan institusi politik serta mencabut semua tindakan pembatasan terhadap perempuan dan minoritas nasional," kata menlu Rusia, Cina, Iran, dan Pakistan dalam sebuah pernyataan bersama, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS, Kamis (13/4/2023).

Keempat menlu merilis pernyataan bersama tersebut setelah menghadiri konferensi keempat negara-negara tetangga Afghanistan yang digelar di Samarkand, Uzbekistan, Rabu (12/4/2023). Menlu Tajikistan dan Turkmenistan turut berpartisipasi dalam konferensi itu. 

Kementerian Luar Negeri Rusia mengungkapkan, selain membahas tentang upaya penyelesaian politik di Afghanistan, konferensi di Samarkand juga mendiskusikan perihal menstabilkan situasi kemanusiaan di negara tersebut. Sejak Agustus 2021, Afghanistan berada di bawah kekuasaan Taliban. Kehidupan masyarakat di sana, terutama bagi kaum perempuan, kian memprihatinkan. Hal itu karena Taliban menerapkan pembatasan ketat bagi aktivitas kaum perempuan, termasuk di bidang pendidikan. 

Pada Desember tahun lalu, Taliban melarang kaum perempuan Afghanistan berkuliah. Menteri Pendidikan Tinggi Taliban Nida Mohammad Nadim mengatakan, larangan itu diperlukan guna mencegah percampuran gender di universitas. Dia meyakini beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus, seperti pertanian dan teknik, tak sesuai dengan budaya Afghanistan serta melanggar prinsip-prinsip Islam.

Tak berselang lama setelah itu, Taliban memutuskan melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah. Sebelumnya Taliban juga telah menerapkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke taman, pasar malam, pusat kebugaran, dan pemandian umum. Taliban pun melarang perempuan bepergian sendiri tanpa didampingi saudara laki-lakinya. Ketika berada di ruang publik, perempuan Afghanistan diwajibkan mengenakan hijab.

Serangkaian kebijakan Taliban yang “menindas” kehidupan perempuan Afghanistan itu telah dikecam dunia internasional. Hingga saat ini belum ada satu pun negara yang mengakui kepemimpinan Taliban di Afghanistan. Salah satu alasannya adalah karena belum dipenuhinya hak-hak dasar kaum perempuan di sana.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler