5 Faedah Puasa Syawal, Ganjaran Puasa Setahun

Puasa Syawal merupakan sunnah Rasulullah

Republika.co.id
Serba-serbi Puasa Syawal
Rep: Rossi Handayani Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdapat sejumlah faedah yang bisa didapatkan seorang Muslim saat menjalankan puasa Syawal. Salah satunya, yakni puasa Syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.

Baca Juga


Dikutip dari buku Fikih Bulan Syawal oleh Muhammad Abduh Tuasikal, berikut lima faedah dari puasa Syawal:

1. Puasa Syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh

Puasa Syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh, dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضانَ ثُمَّ أَتَبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كانَ كصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh” (HR. Muslim, no. 1164).

Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan) (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim).

Jadi, seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam,

من صام ستة أيام بعد الفطر كان تمام السنة (من جاء با لحسنة فله عشر أمثالها

Barang siapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal]” (HR. Ibnu Majah no. 1715).

Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal. (Fath Al-Qadir, dan Tafsir Al-Karim Ar-Rahman)

Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.

2. Puasa Syawal seperti sunnah rawatib yang menutupi kekurangan amalan wajib

Puasa Syawal seperti halnya shalat sunah Rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib. Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa Syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunah Rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. 

Amalan sunah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang sering kali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunah (Lathaif Al-Ma’ari)

 

3. Tanda diterimanya puasa Ramadhan.

Melakukan puasa Syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima amalan seorang hamba, Dia akan menunjuki pada amalan saleh selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, Allah akan tunjuki untuk melakukan amalan saleh lainnya, di antaranya puasa enam hari pada bulan Syawal. (Lathaif Al-Ma’arif).

Renungkanlah, bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman). Akan tetapi, setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan, pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?

Dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-’Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (Komisi Fatwa Saudi Arabia) menyatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah) hanya pada bulan Ramadhan saja.”  

Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.” Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’.

4. Puasa Syawal Sebagai Bentuk Rasa Syukur

Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam Lailatul Qadar di akhir-akhir bulan Ramadhan. 

Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari anugerah pengampunan dosa dari Allah” (Lathaif Al-Ma’arif).

Sampai-sampai Nabi Muhammad SAW pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan.  

‘Aisyah mengatakan, “Mengapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?” Beliau lantas mengatakan, “Tidakkah pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari, no. 4837).

 

Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul Fitri), dianjurkan untuk banyak berzikir dengan mengagungkan Allah melalu bacaan takbir ”Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengangungkan pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185). 

Begitu pula para salaf sering kali melakukan puasa pada siang hari setelah pada waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat Tahajud. Inilah bentuk syukur mereka.

Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun, setelah mendapatkan satu nikmat kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. 

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan terus ada sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. 

Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna)” (Lathaif Al-Ma’arif). Puasa Syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja.

5. Puasa Syawal Menunjukkan Ibadah yang berkelanjutan

Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik napas kehidupan.

Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari Ied, itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.

Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,

بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها

“Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah di bulan Ramadhan saja. Ingat, orang yang saleh yang sejati adalah yang beribadah dengan sungguh-sungguh sepanjang tahun” (Lathaif Al-Ma’arif). Jadi, ibadah bukanlah hanya di bulan Ramadhan, Rajab, atau Sya'ban.

Asy-Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab, ataukah Sya'ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah rabbaniyyin dan janganlah menjadi syakbaniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya Sya'ban. Kami (penulis) juga dapat mengatakan, “Jadilah rabbaniyyin dan janganlah menjadi Ramadhaniyyin.” Lathaif Al-Ma’arif.

Maksudnya, beribadahlah secara berkelanjutan sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.

‘Alqamah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah SAW, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,

لا. كان عمله ديمة

“Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu,” (HR. Bukhari, no. 1987 dan Muslim, no. 783). Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al-Hasan membaca firman Allah, “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al-yaqin (yakni ajal).” (QS. al-Hijr: 99) (Lathaif Al-Ma’arif). 

 

Ibnu ’Abbas, Mujahid, dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al-yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az-Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah setiap saat, sepanjang hidup. (Zaad Al-Masiir)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler