Menyiapkan Generasi Al-Fatih
Pendidikan berbasis Alquran
Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Penulis, Praktisi, dan Konsultan Pendidikan Profesional)
Dibalik setiap pencapaian fenomenal, semisal pembebasan Konstantinopel, selalu ada perencanaan dan penyiapan generasi secara serius, strategis, dan sistematis.
Bisyarah pembebasan Konstantinopel dan Roma yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat penggalian parit dalam perang khandaq pada tahun ke-5 Hijriah, telah menyalakan spirit jihad dan dakwah dari generasi ke generasi. Sampailah spirit itu pada masa Sultan Murad II.
Ketika itu, sudah 22 hari Sultan Murad II mengepung Konstantinopel, namun berujung pada kegagalan. Benteng Konstantinopel masih berdiri gagah dan angkuh. Sultan Murad II sadar bahwa kapasitas dirinya sebagai pemimpin dan pasukannya belum memenuhi kapasitas yang disabdakan Rasulullah sebagai pemimpin dan pasukan terbaik.
Sultan Murad II kembali ke Edirne. Ia bertekad mewariskan misi pembebasan Konstantinopel kepada putranya, Muhammad II. Dalam jiwa dan darah Muhammad II, harus mengalir misi pembebasan Konstantinopel. Tugasnya adalah menyiapkan perencanaan serius, strategis, dan sistematis.
Maka, kemudian Sultan Murad II membangun masjid dan pusat pendidikan Islam berbasis Al-Qur’an di Edirne, ibukota Daulah Usmaniyah, sebagai tempat pendidikan dan pengkaderan anaknya, Muhammad II, dan anak-anak seusianya. Kelak generasi inilah yang menjadi tim elit Muhammad II yang dikenal dengan Inkisyariah atau Janisaris dalam Bahasa Turki.
Sultan Murad II menghadirkan Syaikh Ahmad bin Ismail Al-Kurani, seorang ulama yang alim dan saleh. Kepada beliaulah, Muhammad II kecil dan teman-temannya belajar iman, Al-Qur’an, dan adab. Bak gayung bersambut, keseriusan Sultan Murad II menyiapkan generasi bersambut dengan gairah dan motivasi belajar Muhammad II yang tinggi. Pada usia 8 tahun, Muhammad II telah menyelesaikan belajarnya kepada Syaikh Ahmad Al-Kurani. Muhammad II telah selesai menghafal Al-Qur’an 30 juz dan memahaminya.
Selepas itu, Muhammad II belajar Bahasa dan Sastra Arab serta Dirasah Islamiyah, semisal Tafsir, Hadis, Fiqh dan Ushul Fiqh kepada para ulama, semisal Syaikh Tiftazani, Syaikh al-Jurjani, dan Syaikh Alaudin al-Thusi. Muhammad II semakin menunjukkan kecerdasannya. Ia menyelesaikan pembelajarannya pada usia 11 tahun.
Kemudian, Muhammad II berlanjut belajar berbagai bahasa dunia ketika itu, yaitu Bahasa Persia, Romawi, Yunani, Latin, dan Italia. Muhammad II menguasai semua bahasa itu sampai level advance, selain Bahasa Arab dan tentu saja Turki yang telah dikuasai sebelumnya. Dengan menguasai berbagai bahasa tersebut, daya jelajah Muhammad II terhadap referensi ilmu pengetahuan dan peradaban semakin luas.
Selanjutnya, Muhammad II mempelajari sejarah berbagai bangsa yang pernah manggung dalam pentas peradaban dunia. Ia menaruh fokus khusus pada sebab-sebab kejayaan dan kejatuhan sebuah bangsa dan imperium. Dari sini, Muhammad II paham pola-pola kejayaan dan kejatuhan peradaban.
Tidak cukup sampai di situ, Muhammad II kembali belajar ilmu pemerintahan, matematika, geografi, dan fisika. Sehingga, ia paham betul lanskap benua Asia dan Eropa. Ia juga menjadi pemikir strategis yang memiliki analisis detail. Semua pembelajaran yang berat itu dituntaskan Muhammad II pada usia 14 tahun.
Bersamaan dengan proses belajar berbagai ilmu pengetahuan tersebut, Muhammad II juga ditempa fisiknya. Ia menjadi petarung hebat, jago pedang dan tombak, serta mahir memanah dan menunggang kuda.
Tibalah masanya Sultan Murad II menguji kapasitas diri Muhammad II. Sang Ayah menunjuk Muhammad II menjadi walikota di Manise pada usia 14 tahun. Muhammad II menunjukkan kapasitas dirinya sebagai pemimpin. Ia berhasil memimpin kota Manise dengan baik.
Gairah dan semangat belajar Muhammad II tidak pernah padam. Merasa kapasitas dirinya belum memadai untuk menjadi pemimpin terbaik pembebas Konstantinopel, Muhammad II belajar lagi kepada seorang ulama dan cedekiawan Syaikh Aq Syamsuddin. Inilah sosok yang sangat berpengaruh pada diri Muhammad II setelah Syaikh Ahmad Al-Kurani.
Muhammad II dengan rendah hati belajar bersama para pemuda lain di Masjid Ibrahim Khoja di Kota Manise. Ia duduk melingkar sama rendah tanpa ada pengistimewaan sama sekali sebagai walikota dan putra sultan.
Takdir menjumpai Sultan Murad II. Ia meninggal pada usia yang relatif muda. Ia belum sempat menyaksikan buah perencanaan strategisnya mengkader generasi. Muhammad II dilantik menjadi Sultan Usmani menggantikan ayahnya pada usia 21 tahun lebih beberapa bulan.
Sejak menjabat sebagai sultan, Muhammad II segera merancang misi pembebasan Konstantinopel dengan sangat serius, detail, dan sistematis. Ketika kemudian, dunia terhenyak pada 29 Mei 1453 M, Konstantinopel berhasil dibebaskan oleh pemuda yang belum genap berusia 23 tahun, sejatinya pencapaian besar itu tidaklah instan. Ada persiapan kaderisasi generasi yang begitu panjang, serius, konsisten, dan sistematis.
Muhammad II tidaklah menjadi Al-Fatih (pembebas) jika tidak melewati serangkaian penempaan yang didisain ayahnya dengan serius dan sistematis. Inilah perpaduan yang mesti ada sebagai syarat kebangkitan dan kejayaan. Ada perencanaan serius, strategis, konsisten, dan sistematis untuk menyiapkan generasi, bersambut dengan keikhlasan, kesalehan, dan kesungguhan para pemuda menjalani proses pendidikan dan pengkaderan tersebut.
Maka, sudahkah kita merencanakan secara serius, strategis, konsisten, dan sistematis untuk melahirkan generasi Al-Fatih? Dan, adakah anak-anak dan para pemuda yang ikhlas, serius, dan sungguh-sungguh penuh semangat menjalani proses pendidikan dan pengkaderan tersebut? Jika tidak kita mulai sekarang, kapan lagi?
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2023