Ketua DPR AS Dorong Joe Biden Undang PM Israel ke Gedung Putih

Akhir Maret lalu, Joe Biden membantah akan mengundang Netanyahu ke Gedung Putih.

Al Arabiya
Joe Biden dan Benjamin Netanyahu pada tahun 2016.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Kevin McCarthy mendorong pemerintahan Joe Biden untuk segera mengundang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ke Gedung Putih. Sejak kembali menjabat sebagai perdana menteri pada Desember tahun lalu, Netanyahu belum menerima undangan kunjungan resmi ke Washington.

Baca Juga


“Saya tahu kami memiliki banyak pemimpin berbeda yang datang ke Amerika. Saya berharap Gedung Putih mengundang perdana menteri untuk pertemuan, terutama ulang tahun (berdirinya Israel) ke-75,” kata McCarthy yang memimpin delegasi bipartisan ke Israel dalam konferensi pers di Yerusalem, Senin (1/5/2023).

Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Israel Hayom sehari sebelumnya, McCarthy mengungkapkan, jika Joe Biden enggan mengundang Netanyahu ke Gedung Putih, dia akan memberi undangan sendiri kepada pemimpin Israel berusia 73 tahun itu untuk datang ke Washington. “Dia (Netanyahu) adalah teman baik, sebagai perdana menteri dari negara yang memiliki hubungan terdekat dengan kami,” ucapnya kepada Israel Hayom.

Akhir Maret lalu, Joe Biden membantah akan mengundang Netanyahu ke Gedung Putih dalam waktu dekat. “Tidak. Tidak dalam waktu dekat,” kata Biden ketika ditanya awak media 28 Maret lalu tentang apakah dia akan mengundang Netanyahu ke Gedung Putih, dikutip laman Times of Israel.

Pernyataan Biden itu muncul sehari setelah Netanyahu memutuskan menunda proses legislasi yang dimaksudkan merombak sistem yudisial di Israel. Sama seperti jutaan warga Israel, Biden menyuarakan penentangan atas inisiatif perombakan tersebut. Pada 27 Maret lalu, setelah gelombang unjuk rasa dan demonstrasi yang kunjung redam selama tiga bulan terakhir, Netanyahu akhirnya memilih menunda inisiatif legislasi itu.

“Dari rasa tanggung jawab nasional, dari keinginan untuk mencegah perpecahan di antara rakyat kita, saya telah memutuskan untuk menghentikan pembacaan kedua dan ketiga dari RUU tersebut,” kata Netanyahu dalam pidatonya pada 27 Maret lalu.

Netanyahu mengaku ingin menghindarkan Israel dari perang saudara akibat pergolakan yang timbul dari upaya mereformasi sistem yudisial. “Ketika ada kesempatan untuk menghentikan perang saudara melalui dialog, saya sebagai perdana menteri meluangkan waktu untuk berdialog. Saya memberikan kesempatan nyata untuk dialog nyata,” ucapnya.

Kendati demikian, Netanyahu tetap bertekad mendorong pengesahan RUU reformasi sistem yudisial. “Kami mendukung kebutuhan untuk melakukan perubahan yang diperlukan pada sistem hukum dan kami akan memberikan kesempatan untuk mencapainya melalui konsensus yang luas,” ujarnya.

Lewat RUU yang diusulkan, pemerintahan Netanyahu bakal memiliki wewenang dalam menunjuk hakim negara. Selain itu, RUU akan memberi kekuatan pada parlemen untuk membatalkan keputusan Mahkamah Agung serta membatasi kemampuan pengadilan meninjau undang-undang. Saat ini parlemen Israel dikuasai oleh partai Netanyahu, Likud, dan koalisinya.

Publik Israel menilai, RUU tersebut akan menghancurkan sistem check and balances. Sebab kekuasaan dan kewenangan dipusatkan di tangan pemerintahan Netanyahu serta sekutunya di parlemen. Mereka menilai, Netanyahu pun memiliki konflik kepentingan di balik pengajuan RUU. Sebab saat ini dia masih menghadapi kasus korupsi.

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler