Pemerintah Sudan Tegaskan tidak Ada Negosiasi dengan RSF
Kedua belah pihak di Sudan sepakat menggelar gencatan senjata dari 4 sampai 11 Mei.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Sudan untuk Indonesia Yassir Mohammed Ali menegaskan tidak ada proses negosiasi antara Angkatan Bersenjata dengan Rapis Support Force (RSF). Sebab kedua belah pihak tidak setara untuk melakukan negosiasi.
Ia mengatakan di media diberitakan saat ini sedang ada negosiasi tapi, pada Selasa (2/5/2023) malam Ali mendapatkan arahan dari salah satu anggota Dewan (Militer) Sudan yang menegaskan posisi Angkatan Bersenjata. Proses negosiasi tidak bisa dilakukan karena RSF merupakan pemberontak.
"Hanya ada dua opsi antara mereka menyerah atau mereka akan menerima konsekuensi, jadi tidak ada dua pihak yang setara," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (3/5/2023).
Ia mengatakan Angkatan Bersenjata membuka akses aman untuk warga sipil keluar dan bantuan kemanusiaan masuk. Proses negosiasi tidak bisa dilakukan karena sebagai pemberontak RSF ingin merebut kekuasaan dengan paksa.
"Jadi negosiasi damai tidak ada sama sekali," kata Ali.
Mediator dan negara tetangga Sudan, yakni Sudan Selatan mengatakan faksi militer yang bertikai di Sudan sepakat untuk menggelar gencatan senjata selama lebih dari tujuh hari mulai Kamis (4/5/2023). Meski suara serangan udara dan tembakan masih terdengarkan di Ibukota Khartoum.
Gencatan senjata sebelumnya yang digelar dari 24 sampai 72 jam dilanggar kedua belah pihak dalam konflik yang pecah sejak pertengahan April. Kementerian Luar Negeri Sudan Selatan mengatakan dalam kesepakatan yang ditengahi Presiden Salva Kiir, kedua belah pihak sepakat untuk menggelar gencatan senjata dari tanggal 4 sampai 11 Mei.
Gencatan senjata yang berlaku saat ini berakhir pada Rabu ini. Namun masih belum diketahui bagaimana kepala Angkatan Bersenjata Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan kepala RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo akan menerapkan gencatan senjata.
Di Jakarta, Duta Besar Ali mengatakan konflik yang sedang berlangsung bukan konflik antar Jenderal. Ia menegaskan konflik dipicu pemberontakan Jenderal Dagalo yang lebih dikenal Hemedti.
"Tidak, jenderal Burhan mewakili Angkatan Bersenjata, bila besok Burhan turun, jenderal lain akan mewakili Angkatan Bersenjata, tapi pihak lain adalah masalah keluarga, ia dan saudaranya ingin berkuasa, itu masalahnya, dia taipan dia orang pertama di Sudan dengan kekayaan sebesar itu, memiliki ribuan pasukan di bawah komandonya," kata Ali.
"Ini masalah keluarga, karena itu yang kami hadapi sekarang, klannya, karena dia sangat kaya di Sudan dan semua orang mengenal mereka. Jadi tidak ada pertanyaan keberlanjutannya kecuali ia disingkirkan dan kini sudah ratusan dari mereka sudah menyerah," tambahnya.