MUI, Al Zaytun, dan Program Defeksi Intelijen

Program defeksi di berbagai daerah menjebak warga negara dalam lingkaran setan

Republika.co.id
Kompleks Pondok Pesantren Az Zaytun.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: Al Chaidar Abdurrahman Puteh


Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Pesantren Al Zaytun di Indramayu, Jawa Barat, Indonesia telah menjadi pusat perhatian publik karena aktivitas-aktivitas menyimpang dan praktik aliran sesat yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pesantren tersebut. Salah satu kegiatan menyimpang yang dilakukan adalah pengajaran ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

Selain itu, pesantren Al Zaytun juga dikenal karena praktik-praktik yang mengabaikan hak asasi manusia, seperti menggabungkan praktik-praktik ibadah Yahudi, Kristen, dan Islam di dalam satu ritual. Mereka juga mempraktikkan sholat Id, dengan jamaah perempuan dan laki-laki dalam satu shaf bersama serta adanya jamaah non-muslim yang ikut ritual ibadah tersebut. 

Pesantren Al Zaytun di Indramayu, Jawa Barat, telah melakukan sejumlah kontroversi dalam paham dan praktik keagamaan. Salah satunya adalah sholat Id di pesantren tersebut dengan model pelaksanaan yang berbeda, salah satunya adalah sholat dengan shaf bercampur pria dan wanita. 

Baca juga :Disebut Thomas Djamaluddin Anti-kritik, Ini Jawaban Muhammadiyah

Pada 2002 lalu, tim peneliti Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan riset terkait Al Zaytun. Dari penelitian tersebut dikaji tiga hal: profil NII KW IX dan ajaran di dalamnya, profil Mahad Al Azaytun (MAZ) dan kegiatan kurikulum yang diajarkan, serta menggali kemungkinan adanya hubungan antara NII KW IX dan MAZ.

Dari keterangan yang dihimpun MUIDigital, Jumat (28/4/2023), penelitian di atas menghasilkan kesimpulan: NII KW IX adalah salah satu gerakan sempalan dari gerakan NII yang dipimpin oleh Panji Gumilang alias Abdul Salam alias Prawoto. Terdapat penyimpangan ajaran dari syariat Islam di dalam NII KW IX, di antaranya dosa jamaah bisa ditebus dengan uang, keharusan untuk mendahulukan ajaran NII dibandingkan dengan shalat, dan ajaran terkait hijrah.

 

 

Kedua, kajian yang dilakukan terhadap MAZ menghasilkan belum ditemukan adanya penyimpangan dalam kurikulum yang diajarkan. Kendati demikian, tim peneliti mendapatkan laporan bahwa terdapat hidden kurikulum. Selain itu, informasi lain yang didapat adalah adanya perbedaan antara santri orang dalam dan santri orang luar. Dalam artian ini, ada santri yang direkrut dari NII KW IX atau para tokohnya langsung. Ada juga santri yang direkrut secara umum dan terbuka¹.

Pesantren Al Zaytun adalah pusat gerakan KW9 (Komandemen Wilayah 9) NII (Negara Islam Indonesia). Ini adalah NII palsu yang dirancang oleh pemerintah sebagai program defeksi. Program defeksi adalah program untuk menjerat dan memiskinkan orang-orang yang masih berideologi Islamisme untuk mendirikan negara Islam dengan menjebak mereka masuk ke dalam gerakan palsu dan mencegah mereka masuk atau mengakses gerakan yang asli. 

Menariknya, pesantren Al Zaytun tidak hanya dikaitkan dengan program defeksi NII KW-9 yang palsu yang dilakukan oleh pihak Orde Baru. NII KW-9 adalah sebuah gerakan palsu yang didirikan oleh intelejen pemerintah sebagai bagian dari program defeksi untuk menjerat dan memiskinkan orang-orang yang masih berideologi Islamisme. Pesantren Al Zaytun juga diduga menjadi pusat gerakan KW-9 NII, sehingga jamaah yang mengumpulkan uang infak, sadaqah dan zakat sebanyak Rp 8 miliar per hari terjerat dalam jebakan program defeksi palsu tersebut. 

Baca juga : Klaim Tender Jalan Rusak Lampung Setelah Menteri PUPR Pertanyakan, 'Dari Mana Uangnya?'

Praktik memanipulasi pesantren dan gerakan Islam lainnya oleh aparat intelijen memang telah dilakukan di Indonesia selama beberapa dekade. Praktik ini bertujuan untuk memecah belah umat Islam dan membentuk opini negatif tentang gerakan Islam di mata masyarakat. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa Pesantren Al Zaytun juga menjadi korban dari praktik semacam ini.

Namun, perlu dicatat bahwa sebagian besar pondok pesantren di Indonesia memiliki reputasi yang baik dan berperan penting dalam membangun masyarakat Indonesia yang plural dan inklusif. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam menilai pesantren tertentu dan harus menghargai peran penting yang mereka mainkan dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

 

 

 

Negara Indonesia adalah affective state. Negara ini memiliki agenda Islamofobia yang panjang dari sejak masa Soekarno, Soeharto, Megawati, SBY, dan Jokowi. Hanya Habibie dan Gus Dur yang tidak memasukkan agenda islamophobia dalam 'GBHN' mereka. Umat Islam tidak cukup beruntung berada di dalam negeri afektif ini. "Affective States" adalah sebuah bab yang ditulis oleh Ann Laura Stoler (2007) dan diterbitkan dalam "A Companion to the Anthropology of Politics" di mana Stoler menantang asumsi penguasaan nalar, rasionalitas, dan klaim berlebihan yang dibuat untuk prinsip-prinsip Pencerahan telah menjadi dasar politik rezim kolonial abad ke-19 dan awal abad ke-20 dan harus menjadi pusat sejarah kritis dari mereka.

Negara-negara kolonial dan para arsiteknya malah berfokus pada distribusi sentimen yang sesuai secara rasial, pada penilaian rasial terhadap disposisi afektif, dan dampak politik mereka yang menguntungkan dan berbahaya. Negara afektif adalah negara yang dikelola berdasarkan emosi para pejabatnya. Jika mereka tidak suka kepada Islam (Islamofobia), mereka akan mengembangkan semua program pembangunan sesuai dengan spirit kebenciannya terhadap publik Islam. 

Program defeksi selama ini dikembangkan untuk melindungi hak-hak negara. Hak negara mengacu pada hak dan kekuasaan politik yang diberikan kepada pejabat negara oleh Konstitusi. Di bawah doktrin hak negara, pemerintah diizinkan untuk mencampuri semua urusan publik dan privat warga negara dengan membuat berbagai program yang memanipulasi kesadaran mereka dan terkadang membuat jebakan-jebakan psikologis, moral, dan kultural agar warga negara kapok atau jera telah ikut terlibat dan terperangkap ke dalam propaganda palsu yang dibuat pemerintah untuk mengantisipasi gerakan-gerakan separatis, oposisi, dan gerakan-gerakan tandingan politik lainnya. 

Dengan segenap sumberdaya dan anggaran yang dimiliki pemerintah, maka program defeksi di berbagai daerah (Aceh, Papua, dan lain-lain) telah berhasil menjebak warga negara ke dalam lingkaran setan yang melumpuhkan, memiskinkan, menjerakan, tanpa ada remedi yang patut untuk menyelamatkan jiwa-jiwa warga negara yang mengalami kerugian finansial, emosional, dan spiritual. 

Baca juga : Said Iqbal, Aktivis Penolak UU Cipta Kerja yang Cium Tangan Ganjar Pranowo

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler