Uang Hasil Undian, Halal atau Haram? Pahami Ketentuannya dalam Islam
Hukum uang hasil undian terbagi menjadi dua macam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendapatkan rezeki tak terduga bisa menjadi pengalaman menyenangkan bagi seseorang, misalnya uang dari undian atau hadiah dari produk tertentu. Belum lama ini, ada makanan ringan anak-anak yang mengiklankan produknya memberi hadiah uang dalam kemasan.
Promosi itu dinilai berhasil memikat hati masyarakat, karena mereka berbondong-bondong membeli produknya. Namun, bagaimana hukum uang hasil dari undian dalam Islam?
Ustadz Muhammad Muchtar dalam laman Al Binna Islamic Boarding School menjelaskan, ulama membagi hukum undian menjadi dua macam. Pertama, undian yang diharamkan bila di dalamnya ada unsur perjudian atau unsur mukhatarah (untung-rugi). Hakikat perjudian adalah ada satu pihak yang mendapatkan keuntungan sementara pihak lain mendapatkan kerugian.
Kedua, undian yang diperbolehkan yang tidak terdapat unsur perjudian dan mukhatarah (untung-rugi). Nabi Yunus pernah melakukan undian ketika perahu yang dia tumpangi kelebihan penumpang, di mana salah satu penumpang harus menceburkan diri ke laut. Undian dilakukan untuk menentukan siapa yang menceburkan diri, di mana Nabi Yunus kalah.
Undian bisa dilakukan dalam dua keadaan. Pertama, ketika terjadi ibham al-huquq (tidak diketahui siapa yang berhak), maka untuk menentukan siapa yang berhak dilakukanlah undian.
Kedua, ketika terjadi tazahum al-huquq (benturan hak beberapa orang yang terlibat) semuanya berhak dan semua ingin mendapatkannya. Dalam kasus ini, Anda bisa menggunakan undian untuk menentukan siapa yang berhak.
Dilansir kanal Al-Bahjah TV, Profesor Yahya Zainul Ma'arif, atau yang akrab disapa Buya Yahya, menjelaskan bahwa undian yang tidak diperbolehkan adalah peserta harus membayar untuk mengikutinya karena itu termasuk judi. Bagaimana dalam kasus membeli kupon berhadiah, atau pembelian voucher lewat harta poin kartu seluler?
Dilansir laman Islam NU Online, peneliti bidang ekonomi syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa TImur, Muhammad Syamsudin, menjelaskan hasil kajian peneliti menyebut program-program tersebut mengandung unsur perjudian (qimar). Berikut penjelasannya:
1. Ada tindakan spekulatif untuk mendapatkan hadiah.
2. Ada harta yang sah kedudukannya dipandang sebagai harta dan diserahkan kepada pihak penyelenggara dengan alasan pembelian voucher hadiah.
3. Harta yang terkumpul dari biaya pembelian voucher atau kupon, dijadikan sebagai hadiah.
4. Tidak ada kegiatan yang bisa masuk dalam kategori ijarah (jasa), jualah (sayembara), musabaqah (perlombaan), atau munadlalah (adu keterampilan) yang dibenarkan oleh syara’.
Jual beli kupon itu cenderung syarat kepada timbulnya unsur kecurangan (ghabn), sebab salah satu pihak yang telah menyerahkan harga dapat berlaku sebagai yang dirugikan (yughram) karena hartanya terambil. Ini adalah salah satu ciri utama dari perjudian (qimar).
Jika poin ini diserahkan dalam suatu program untuk membeli voucher undian, maka secara tidak langsung sama artinya dengan menyerahkan harta dalam sebuah program undian judi (qimar), tanpa adanya unsur kerja (jasa), sayembara, perlombaan, atau munadlalah (adu keterampilan) yang dibenarkan oleh syara’. Poin untuk membeli voucher undian semacam ini sama kedudukannya dengan ikut dalam program judi modern.
Empat kriteria yang benar dalam pemberian hadiah (iwadl atau bonus atau hadiah), yaitu kerja (jasa), sayembara, musabaqah (perlombaan), atau munadlalah (adu keterampilan) yang dibenarkan oleh syara’. Selagi tidak ada empat kegiatan itu, maka terpenuhi unsur spekulatif judinya.