Politisi Demokrat: Ada yang tak Nyaman dengan RUU Perampasan Aset
Mereka akan coba-coba mengakali agar tak terdampak RUU Perampasan Aset.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dipandang membuat sekelompok orang tidak nyaman. Sebab, jika aturan itu sudah disahkan bisa digunakan merampas aset yang diperoleh dari hasil kejahatan.
Hal tersebut disampaikan oleh anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto dalam webinar yang diadakan Ikal Strategic Center pada Rabu (10/5/2023). Didik menyoroti peluang RUU Perampasan Aset kembali gagal disahkan seperti nasibnya bertahun-tahun silam. Walau demikian, Didik tak menyebut pasti pihak mana yang akan mengganjal RUU Perampasan Aset.
"Harus bersatu (DPR-Pemerintah), mungkin saja ada potensi pihak tertentu yang nggak nyaman dengan lahirnya RUU ini. Selama ini pelaku kejahatan yang canggih tadi tidak nyaman," kata Didik dalam diskusi tersebut.
Didik mengungkapkan, tindak kejahatan kian bertransformasi seiring kemajuan zaman. Para pelakunya terus berupaya lolos dari jerat hukum. Mereka ini disebut Didik akan coba-coba mengakali agar tak terdampak RUU Perampasan Aset.
"Saya yakin pembahasan nggak mudah kalau bicara kejahatan memang harus menyadari kejahatan didesain dengan cara dan metode yang baru mencari kelemahan penegakkan hukum," ujar politikus Partai Demokrat itu.
Didik menjamin para "pengganggu" RUU Perampasan Aset bukan berasal dari Pemerintah dan DPR RI.
"Mereka (pelaku kejahatan) yang jadi bagian yang halangi RUU ini. Pemerintah dan DPR berkomitmen betul untuk memberantas kejahatan keuangan dan ekonomi," lanjut Didik.
Oleh karena itu, Didik meyakini hambatan pengesahan RUU Perampasan Aset mestinya dapat ditangkal ketika Pemerintah dan DPR berkomitmen memberantas kejahatan. Apalagi ini menyangkut kedaulatan Negara atas para penjahat ekonomi dan keuangan.
"Negara tak boleh kalah dengan kejahatan dalam bentuk apa pun," tegas Didik.
Selain itu, Didik mendorong sosialisasi masif atas naskah RUU Perampasan Aset guna menjaring pendapat masyarakat. Untuk sementara ini, ia meminta Pemerintah membuka lebar-lebar naskah RUU itu agar menjadi diskursus publik.
"Pemerintah mudahkan publik beri akses draft RUU ini. Ini jadi langkah awal inisiatornya RUU karena memang perlu partisipasi masyarakat, ini kan demi kepentingan rakyat," ucap Didik.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan surat presiden (surpres) beserta draf RUU Perampasan Aset ke DPR pada Kamis (4/5/2023). Rancangan peraturan itu nantinya untuk segera dibahas dalam sidang lanjutan di DPR yang mulai digelar pada Selasa (16/5/2023).
RUU Perampasan Aset yang bakal dibahas pemerintah bersama DPR terdiri dari 7 Bab dan 68 Pasal. Pembahasan RUU itu bakal melibatkan tujuh kementerian dan lembaga yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Kejaksaan Agung, Polri dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengkonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima surat presiden (surpres) terkait perintah pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana. Jelasnya pembahasannya akan diproses nanti, mengingat DPR saat ini masih dalam masa reses.
"Namun karena pada saat ini kami masih reses tentunya nanti pada masa sidang akan diproses sesuai mekanisme," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (9/5/2023).
Dasco juga menjelaskan, DPR yang kerap dituduh tidak memproses RUU Perampasan Aset. Jelasnya, Komisi III DPR belum dapat membahasanya karena surpres dari Presiden Jokowi saja baru diterima pada 4 Mei 2023.
"Itu kan surpresnya belum pernah ke DPR, belum sampai, ini baru sampai. Nanti kita akan proses sesuai mekanisme yang ada," ujar Dasco.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Hiariej menyampaikan RUU Perampasan Aset masih terbuka untuk dibahas bersama Pemerintah dan DPR. Pembahasan ini pun akan melibatkan beberapa lembaga negara seperti Polri, Kejaksaan Agung, Kemenkumham.
"Belum (siap disahkan), ini semua masih subject to discuss. Jadi yang terlibat itu ada sekitar tujuh atau sembilan kementerian dan lembaga, dan itu juga Supres kepada tujuh menteri dan lembaga itu untuk dilakukan pembahasan bersama sama dengan DPR," ujar Prof Eddy.
Oleh karena itu, Prof Eddy belum memiliki gambaran konkret mengenai mekanisme perampasan aset ke depannya. Sebab pihak Pemerintah dan DPR masih mencari jalan tengah atas RUU Perampasan Aset.
"Sekali lagi, semua masih subject to discuss. Jadi kita belum bisa menentukan, kan kedua belah pihak pembentuk undang-undang itu. Pemerintah maunya A, DPR maunya B kan harus ada diskusi supaya ada titik temu," ujar Eddy.