RUU Perampasan Aset, Kemenko Polhukam: Minimal Rp 100 Juta
Salah satu aset yang dapat disita yakni aset hasil tindak pidana.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkopolhukam) mengungkapkan nilai aset yang dapat dijerat hukum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset minimal Rp100 juta. Aturan ini guna memaksimalkan perampasan aset yang diperoleh dari hasil kejahatan. Hal itu dikatakan oleh Deputi III Kemenkopolhukam, Sugeng Purnomo dalam webinar yang digelar oleh Ikal Strategic Center pada Rabu (10/5/2023).
Sugeng menyebutkan aset mana saja yang dapat dirampas. Pertama, aset hasil tindak pidana atau aset yang diperoleh secara langsung/tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dihibahkan/dikonversikan. Kedua, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara. Ketiga, aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah.
"Keempat, aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana," kata Sugeng dalam kesempatan itu.
Sugeng menyinggung nilai minimal aset yang bisa ditindak oleh RUU Perampasan Aset. Jumlah itu berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. "Nilai aset minimal Rp100 juta dan tindak pidananya diancam penjara empat tahun atau lebih," sebut Sugeng.
Sugeng menegaskan perampasan aset tindak pidana merupakan upaya paksa dari Negara guna mengambilalih aset tindak pidana. Hal ini didasari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. "Ini bisa dilakukan tanpa berdasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya," ujar Sugeng.
Sehingga perampasan aset dapat dilakukan meski tersangka atau terdakwa meninggal, melarikan diri, sakit permanen atau tak diketahui keberadaannya. Bahkan terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum atau perkara pidananya tak dapat disidangkan tak lolos dari jerat RUU Perampasan Aset. Begitu pun terpidana yang dikemudian hari terdapat aset yang ternyata belum dirampas masih bisa dikejar RUU Perampasan Aset.
"Perampasan aset tidak didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana dan tidak menghapuskan kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana," ucap Sugeng.
Sugeng juga menjelaskan pihak yang mempermasalahkan pemblokiran maupun penyitaan bisa mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan langsung penyidik paling lambat 14 hari sejak tanggal pemblokiran atau penyitaan. Adapun perlawanan terhadap upaya itu diajukan ke Pengadilan Negeri sebelum atau pada hari persidangan.
"Perlawanan tidak dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa yang melarikan diri, status DPO, terdakwa sidang in absentia," ucap Sugeng.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan surat presiden (surpres) beserta draft RUU Perampasan Aset ke DPR pada Kamis (4/5). Rancangan peraturan itu nantinya untuk segera dibahas dalam sidang lanjutan di DPR yang mulai digelar pada Selasa (16/5).
RUU Perampasan Aset yang bakal dibahas pemerintah bersama DPR terdiri dari 7 Bab dan 68 Pasal. Pembahasan RUU itu bakal melibatkan 7 kementerian dan lembaga yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Kejaksaan Agung, Polri dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).