Ekonom: Pemerintah Harus Jujur Situasi Kemiskinan RI

Pemerintah sebenarnya meyakini kenyataan penduduk miskin jauh lebih banyak.

istimewa
Ekonom FEB UI Yusuf Wibisono. Yusuf meminta pemerintah menyampaikan situasi yang sesungguhnya mengenai data kemiskinan di Indonesia.
Rep: Novita Intan Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah diminta untuk menyampaikan situasi yang sesungguhnya mengenai data kemiskinan di Indonesia. Sebab selama ini data kemiskinan yang dipublikasikan pemerintah secara luas hanya bertujuan untuk evaluasi pembangunan.

Baca Juga


Ekonom FEB Universitas Indonesia (UI) Yusuf Wibosono mengatakan, selama ini pemerintah menggunakan data kemiskinan makro yang rutin dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan survey setiap enam bulan, yakni susenas atau garis kemiskinan nasional. Terakhir, BPS mencatat jumlah penduduk miskin per September 2022 sebanyak 26,36 juta atau 9,57  persen dari total penduduk Indonesia.

"Untuk kemiskinan Indonesia, menurut saya yang lebih penting adalah konsistensi dan kejujuran pemerintah untuk menyampaikan situasi kemiskinan yang sesungguhnya," ujar Yusuf ketika dihubungi Republika, Kamis (11/5/2023).

Yusuf menyebut implementasi kebijakan perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan, pemerintah menggunakan data kemiskinan mikro. Yakni data terpadu kesejahteraan sosial) yang berisi data 40 persen keluarga termiskin. Angka ini kurang lebih setara 95 juta penduduk, empat kali lipat dari angka kemiskinan makro. 

"Dengan kata lain, pemerintah sebenarnya meyakini dalam kenyataan, jumlah penduduk yang harus dilindungi dengan bantuan sosial dan dientaskan dari kemiskinan jauh lebih banyak dari angka kemiskinan resmi," ucap Yusuf.

Menurutnya angka kemiskinan riil tercermin dari jumlah penerima bantuan sosial sekitar 40 persen keluarga terbawah, sekitar 95 juta orang. Hal ini yang merupakan kelompok miskin yang sesungguhnya.

Seharusnya angka kemiskinan mikro inilah yang harus lebih dipublikasikan oleh pemerintah secara luas. Jika penduduk yang berhak menerima bantuan sosial dan program penanggulangan kemiskinan semakin banyak, maka kondisi kemiskinan Indonesia sesungguhnya semakin memburuk.

 

Kendati demikian, menurut Yusuf usulan Bank Dunia yang meminta pemerintah Indonesia untuk mengubah batas garis kemiskinan merupakan hal yang wajar. Sebab suatu negara memiliki penghitungan berbeda dengan Bank Dunia terkait batas kemiskinan. 

Kasus Indonesia, wajar saja jika pemerintah (BPS) memiliki ukuran garis kemiskinan nasional yang berbeda dari yang dimiliki Bank Dunia. "Analisis kemiskinan antarnegara, memang yang lebih tepat digunakan ukuran kemiskinan dari Bank Dunia, tapi analisis kemiskinan nasional ya kita gunakan garis kemiskinan BPS," ucapnya.

Menurutnya ketika Bank Dunia menganjurkan perubahan batas kemiskinan, sesuai ukuran Bank Dunia, tujuannya perbandingan kemiskinan antar negara. Dalam analisis kemiskinan global, ukuran yang dipakai yakni pendekatan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) dalam dolar AS.

Pendekatan PPP ini berbeda dengan nilai tukar valas. Misal, pada 2021, satu dolar AS PPP itu setara dengan Rp 4.758. Jadi ketika Bank Dunia menaikkan batas garis kemiskinan ekstrem dari 1,90 dolar AS menjadi 2,15 dolar AS, maka ini setara dengan Rp 10.229 per orang per hari atau Rp 306.870 per bulan, naik dari sebelumnya Rp 9.040 per orang per hari atau Rp 271.200 per bulan.

"Dengan perubahan garis kemiskinan maka jumlah penduduk miskin berubah. Ukuran Bank Dunia sebelumnya, 1,9 dolar AS adalah berbasis PPP 2011, sedangkan yang baru 2,15 dolar AS basisnya adalah PPP 2017, jadi ukuran yang sekarang lebih relevan, dan hasilnya jumlah penduduk miskin bertambah," ucapnya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler