Akademisi: Finalisasi RUU Kesehatan Dinilai Perlu Hati-Hati

Tumpang tindih antarregulasi di RUU disebut kontraproduktif dengan tujuan pemerintah

Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah tenaga kesehatan memakai ikat kepala saat melaksanakan aksi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (8/5/2023). Aksi damai yang dilaksanakan oleh gabungan organisasi profesi kesehatan itu menolak RUU Omnibus Law Kesehatan yang dinilai berpotensi memecah belah profesi kesehatan, melemahkan perlindungan dan kepastian hukum tenaga kesehatan. Selain itu mereka juga menuntut pemerintah untuk memperhatikan sejumlah fasilitas kesehatan di daerah pelosok yang belum memadai.
Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk melanjutkan RUU Kesehatan melalui metode omnibus law disebut perlu dikaji secara matang. Sebab, di dalam draf rancangannya, beleid tersebut memiliki substansi yang terlalu luas dengan rencana mengubah atau mencabut 10 undang-undang (UU) yang berlaku.


“Niat baik pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi kesehatan seluruh masyarakat perlu didukung terutama melalui RUU Kesehatan, namun finalisasi RUU tersebut memerlukan langkah hati-hati karena cakupan substansi yang demikian luas,” ujar akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kris Wijoyo Soepanji, Jumat (12/5/2023).

Adapun 10 UU yang akan dicabut atau diubah via omnibus law RUU Kesehatan adalah UU Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kebidanan, UU Pendidikan Kedokteran, UU Wabah Penyakit Menular, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Praktik Kedokteran.

Kris menilai, karena terlalu luasnya substansi dalam RUU Kesehatan, saat ini masih ada sejumlah UU lainnya di luar 10 UU di atas yang masih mengatur banyak hal dari substansi RUU tersebut.

“Asas-asas dalam hukum seperti lex specialis derogat legi generali dan lex posterior derogat legi priori tentunya akan dibutuhkan dalam penerapan substansi RUU Kesehatan dalam hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang terkait,” kata dia.

Beberapa contoh dia sebutkan. Pertama, soal dimasukannya narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif bersama dengan tembakau dan minuman beralkohol. Padahal, narkotika dan psikotropika telah diatur dalam UU sendiri. Penggolongan bersama itu juga dinilai tidak tepat karena tembakau legal, sedangkan narkotika dilarang oleh hukum.

Contoh berikutnya terkait ketentuan standardisasi kemasan produk tembakau, mulai dari kemasan, jumlah batangan, dan lainnya yang tertuang dalam Pasal 156 di RUU Kesehatan. Hal itu sebenarnya juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 217/2021 yang merupakan regulasi pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai. Pasal-pasal soal tembakau dalam RUU Kesehatan dinilai terlalu luas dan tumpang tindih dengan regulasi lain.

Tumpang tindih antarregulasi itu disebut kontraproduktif dengan tujuan pemerintah dalam mendorong harmonisasi regulasi, terutama untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Apalagi, beberapa substansi tersebut juga tidak termasuk dalam regulasi yang akan diubah atau dicabut melalui metode omnibus law tersebut.

“Atas dasar ini, DPR dan pemerintah jangan sampai terburu-buru untuk mengesahkan RUU kesehatan. Pemerintah dan DPR perlu memastikan banyak aspek terlebih dahulu sebelum akhirnya memfinalisasi RUU Kesehatan,” kata Kris.

Kris juga menjelaskan aspek-aspek yang perlu dipastikan, yakni kepastian koherensi regulasi yang dilakukan oleh para ahli hukum. Hal tersebut berguna untuk memastikan agar regulasi tidak tumpang tindih atau bahkan berlawanan.

“Para penyusunan kebijakan juga perlu memastikan bahwa kepentingan masyarakat aakan terjamin atas pengesahan RUU Kesehatan ini,” jelas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler