Isu Kebebasan Berhijab di Tengah Kontestasi Pilpres Turki
Larangan berhijab baru dihapus pada 2013 ketika Erdogan menjabat perdana menteri.
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pada dekade 1980-an, Turki pernah menerapkan larangan penggunaan hijab di institusi dan lembaga negara. Larangan tersebut memengaruhi staf universitas, mahasiswa, pengacara, politisi, dan kalangan lainnya di sektor publik.
Pada 1997, setelah kudeta militer menggulingkan pemerintahan Islamis yang dipimpin mantan perdana menteri Necmettin Erbakan, larangan penggunaan hijab diberlakukan sepenuhnya. Larangan tersebut baru dihapus pada 2013 ketika Recep Tayyip Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party) menjabat sebagai perdana menteri.
Turki akan menggelar pemilu parlemen dan presiden pada Ahad (14/5/2023). Erdogan selaku petahana kembali mencalonkan diri untuk mempertahankan jabatannya sebagai presiden. Pesaing utama Erdogan dalam pemilihan presiden (pilpres) adalah Kemal Kilicdaroglu, pemimpin oposisi dari Partai Rakyat Republik (CHP).
Pada pemilu kali ini, CHP telah mengesampingkan sikap sekulernya yang solid. Mereka, yang sebelumnya pro pada pelarangan hijab, baru-baru ini telah mengubah haluannya. CHP meyakinkan kaum perempuan Turki bahwa hak mereka menggunakan jilbab bakal dilindungi.
Perempuan berhijab telah terlihat pada acara-acara kampanye CHP dan poster pemilunya. Sejumlah politisi perempuan CHP pun sudah tampil mengenakan hijab. Hal itu dipandang sebagai upaya pencitraan ulang CHP agar dapat menarik lebih banyak simpati dari masyarakat Turki. Sebab saat ini CHP sedang berupaya memperluas koalisinya.
“CHP bersikap lebih lunak terhadap kebebasan beragama. Mereka tidak akan berani mendukung larangan (hijab) seperti itu hari ini. Orang-orang lebih berpendidikan dan sadar akan hak-hak mereka,” kata Esin, seorang pekerja salon kecantikan di distrik Karakoy, Istanbul, saat diwawancara Aljazeera, Jumat (12/5/2023).
Perempuan berusia 41 tahun itu termasuk di antara mereka yang memutuskan meninggalkan kuliah dan belajar dari rumah ketika Turki menerapkan larangan berhijab. Esin mengatakan itu sebabnya dia memilih AK Party dan akhirnya bekerja untuk partai Erdogan tersebut selama delapan tahun.
Namun pada pemilu pada Ahad, Esin belum memutuskan apakah akan memilih AK Party atau CHP. “Mereka (AK Party) telah mempolitisasi jilbab sebagai alat untuk mendapatkan lebih banyak suara. Mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan lebih banyak suara,” ucapnya.
Sementara itu perempuan Turki lainnya, Sevgi (50 tahun), mengungkapkan dia berencana memilih CHP. Sevgi adalah seorang pensiunan petugas layanan sosial yang juga mengenakan hijab. “Saya tidak berpikir CHP akan kembali ke 'cara lama'. Mereka akan menghormati hak perempuan untuk mengenakan cadar,” kata Sevgi kepada Aljazeera.
Tidak semua perempuan Turki memiliki pandangan serupa dengan Sevgi terhadap CHP. Fatma, seorang akademisi, meninggalkan Turki dan pergi ke Amerika Serikat (AS) karena merasa dibekukan dari akademisi Turki karena pilihannya untuk mengenakan hijab. Meski sudah ada pencitraan ulang dari CHP, Fatma mengaku masih skeptis terhadap perubahan haluan partai tersebut.
“Saya tidak bisa tiba-tiba percaya bahwa sikap politik ini sekarang akan melindungi saya. Saya tidak percaya bahwa mereka (CHP) telah berubah. Setidaknya mereka belum meyakinkan saya bahwa mereka melakukannya,” ujar Fatma.
Banyak orang Turki konservatif memuji Erdogan karena membebaskan pembatasan agama. Erdogan dan partainya dinilai mampu mempertahankan basis pemilih mereka yang lebih religius yang telah lama merasa terasingkan oleh mantan elite sekuler Turki.
“AK Party memperbaiki masalah kebebasan berpakaian keagamaan. Saya tidak merasa saya akan memiliki kebebasan yang sama jika CHP terpilih. CHP sekarang mengatakan akan menghormati hak perempuan bercadar hanya untuk mendapatkan lebih banyak suara,” kata Aisha, seorang siswa berusia 23 tahun yang mengenakan jilbab saat diwawancara Aljazeera di pusat kota Istanbul.
Teman Aisha, Meryem (20 tahun), memiliki sikap dan pandangan yang sejalan. “Saya khawatir mereka (oposisi) dapat membatasi kebebasan kita dalam berpakaian, mungkin tidak sekaligus tetapi secara bertahap. Saya tidak berpikir CHP telah menjadi toleran secara agama. Itu hanya berusaha menarik dukungan dari wanita konservatif,” ucap Meryem.