Makna Baiat dan Contohnya di Masa Nabi
Baiat sebagai bentuk ketundukan dan loyalitas.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Baiat sebagai bentuk ketundukan dan loyalitas banyak dilakukan oleh umat Islam. Sejumlah organisasi Islam menggerakan baiat kepada jamaahnya sebagai bagian dari janji setia kepada pemimpin atau organisasi. Lantas, apa sebenarnya makna baiat itu?
Dalam buku Meluruskan Pandangan Kaum Jihadis terbitan Kementerian Agama dijelaskan, baiat yang dilakukan di dalam lingkup organisasi dan sebagainya dimaknai bukan sebagai baiat dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik suatu negara. Baiat seperti ini tidak dalam konteks baiat politik yang menegaskan loyalitas kepada pemimpin politik atau pemimpin negara.
Setelah ada sekelompok umat Islam yang telah mengklaim mendirikan kekhalifahan Islam, yaitu Islamic State in Iraq and Syria (ISIS), banyak umat Islam di penjuru dunia melakukan baiat kepada Abu Bakar al-Bagdadi di bawah kekhalifahan ISIS.
Mereka membaiat al-Bagadadi sebagai khalifah, yaitu pemimpin negara yang baru didirikan. Loyalitas kepada pemimpin ISIS digerakkan di seluruh penjuru dunia. Bagi mereka, janji setia dalam baiat hanyalah kepada pemimpin negara seperti al-Bagdadi, bukan kepada raja Arab Saudi, bukan presiden Mesir, bukan presiden Suriah karena mereka dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam.
Baiat hanyalah kepada pemimpin yang mendirikan negara dengan komitmen yang kuat untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah, langsung, dan segera, bukan bertahap. Mereka melakukan baiat kepada pemimpin ISIS di seluruh penjuru dunia.
Orang-orang yang berlindung di bawah panji ISIS melakukan baiat kepada al-Bagdadi dengan meninggalkan pemimpin Irak dan Syiria. Bahkan, mereka melakukan pemberontakan kepada kedua negara ini. Ada yang berbaiat di negara-negara Barat yang menyatakan loyalitas kepada pemimpin ISIS.
Orang-orang Indonesia juga ada yang melakukan baiat kepada pemimpin ISIS. Baiat ini dimaknai sebagai janji setia terhadap pemimpin yang menegakkan khilafah yang melaksanakan syariat Islam.
Dalam menangkal kesalahan-kesalahan baiat di atas, maka sesungguhnya umat Islam harus memahami terlebih dahulu makna baiat itu sendiri.
Baiat sebagaimana yang terjadi dalam sejarah dan peradaban Islam dan tertera dalam rujukan-rujukan utama kaum Muslimin yakni bersumber dari Rasulullah. Salah satu baiat yang pernah ada adalah baiat kepada Nabi.
Baiat sudah lama dikenal sejak sebelum Islam datang. Pada zaman jahiliyah, anggota-anggota setiap kabilah memberikan baiat kepada pimpinan kabilah mereka, dan mereka mengikuti perintah dan larangan pimpinan. Peristiwa ini menjadi fenomena masyarakat Arab ketika itu yang terikat kepada kabilah, sehingga baiat menjadi basis sosial dalam membangun ikatan sosial-kemasyarakatan.
Situasinya kemudian berubah setelah Rasulullah SAW datang dengan membawa ajaran Islam. Orang-orang yang mendapatkan hidayah dari Allah SWT membaiat Rasulullah SAW sebagai Nabi sekaligus sebagai pemimpin umat untuk berjanji setia.
Ketika Rasulullah SAW wafat, baiat diberikan kepada khalifah, yaitu pemimpin umat Islam dari zaman ke zaman. Secara istilah baiat sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu Mandhur merupakan ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya serta kesetiaannya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya.
Artinya dalam baiat terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama secara sukarela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga punya hak dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimanya. Jadi pelaksanaan hak dan kewajiban antara dua pihak berlangsung secara timbal balik.
Adapun menurut istilah fikih, baiat secara spesifik merujuk pada mekanisme terpenting dan terabsah dalam mendaulatkan kepemimpinan politik, sehingga seorang pemimpin tidak akan sah menduduki kepala pemerintahan (baik menggunakan istilah khilafah atau lainnya) kecuali jika telah dibaiat oleh umat (rakyat) dengan sukarela.
Sehingga baiat diartikan secara istilah dengan janji setia yang diberikan kepada seorang pemimpin selain dalam hal maksiat, dalam suka maupun terpaksa, dalam keadaan sulit ataupun mudah, dan tidak akan menggugat keputusannya serta menyerahkan segala menyerahkan segala sesuatu kepadanya.