DPR Tolak Revisi PKPU yang Bisa Kurangi Jumlah Caleg Perempuan
DPR menolak revisi PKPU yang bisa mengurangi jumlah caleg perempuan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi II DPR RI menolak rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI merevisi ketentuan penghitungan kuota minimal 30 persen bakal calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Sikap Komisi II ini bertolak belakang dengan keinginan publik yang mendesak revisi karena ketentuan tersebut dapat mengurangi jumlah caleg perempuan dalam Pemilu 2024.
Penolakan itu tampak dalam pernyataan sikap semua kelompok fraksi dan dalam kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II dengan KPU RI, Bawaslu RI, DKPP, dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/5/2023). Dalam rapat yang berlangsung sekitar satu jam itu, semua yang berbicara adalah laki-laki.
"Komisi II DPR RI meminta KPU RI untuk tetap konsisten melaksanakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota," kata Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia membacakan kesimpulan rapat.
Ketentuan penghitungan kuota minimal 30 persen caleg perempuan itu memang terdapat dalam PKPU 10/2023, tepatnya Pasal 8 ayat 2. Pasal itu menyatakan bahwa apabila hasil penghitung kuota 30 persen menghasilkan dua angka di belakang koma tak mencapai 50, dilakukan pembulatan ke bawah.
Problemnya, pendekatan pembulatan ke bawah itu ternyata dapat membuat jumlah bakal caleg perempuan tidak sampai 30 persen per partai di setiap daerah pemilihan (dapil), sebagaimana diamanatkan UU Pemilu.
Sebagai contoh, di sebuah dapil terdapat 4 kursi anggota dewan dan partai politik hendak mengajukan empat bakal caleg. Dengan penghitungan murni 30 persen, berarti partai politik harus mengajukan satu-dua orang bakal caleg perempuan.
Lantaran ada ketentuan pembulatan ke bawah, partai akhirnya hanya wajib mendaftarkan satu caleg perempuan. Padahal, satu caleg perempuan dari empat caleg persentasenya adalah 25 persen, bukan 30 persen.
Berdasarkan simulasi yang dibuat Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, pendekatan pembulatan ke bawah itu dapat mengurangi jumlah bakal caleg DPR RI perempuan hingga 684 orang. Sedangkan pada level DPRD provinsi dan kabupaten/kota dapat mengurangi jumlah bakal caleg wanita hingga ribuan orang di seluruh Indonesia.
Karena itu, koalisi perempuan mendesak agar Pasal 8 ayat 2 itu direvisi. KPU pada pekan lalu menyatakan bersedia melakukan revisi, yakni mengganti isinya menjadi pendekatan pembulatan ke atas sebagaimana digunakan dalam Pemilu 2019. Namun, KPU harus berkonsultasi dulu dengan Komisi II DPR sebelum melakukan revisi.
Nyatanya, Komisi II menolak rencana revisi tersebut. Dalam RDP Komisi II, sembilan kelompok fraksi (poksi) kompak menolak revisi.
Poksi PDIP, misalnya, menolak revisi karena DPP PDIP sudah mengajukan daftar bakal caleg DPR RI dengan komposisi perempuan lebih dari 30 persen. KPU RI memang telah menerima berkas daftar bakal caleg DPR RI dari semua partai politik peserta pemilu pada 1-14 Mei 2023.
Selain itu, Poksi PDIP menilai, perubahan ketentuan saat pendaftaran bakal caleg sudah selesai dapat merugikan partai politik dan menimbulkan konflik. Sebab, partai tentu harus mengubah kembali daftar dan susunan bakal caleg seusai ketentuan terbaru.
"Karena itu, tidak perku ada perubahan yang justru membuat situasi menjadi tidak kondusif. Jadi fraksi PDIP memandang dan bersikap bahwa Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023 tidak perlu diubah Merdeka," kata Kepala Poksi PDIP Arif Wibowo.
Poksi Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP menyampaikan sikap serupa. Setiap poksi menyatakan, revisi tidak perlu dilakukan karena semua partai sudah menyerahkan daftar bakal caleg DPR RI dengan komposisi perempuan lebih dari 30 persen.
Dalam rapat itu, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari memang menyampaikan bahwa 18 partai politik telah menyerahkan daftar bakal caleg DPR RI dengan jumlah perempuan lebih dari 30 persen.
Namun, Hasyim tak menjelaskan apakah keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen itu adalah akumulasi secara nasional, atau per dapil sebagaimana diamanatkan UU Pemilu. Dia juga tak mengungkapkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar bakal caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Ketika Komisi II membuat kesimpulan rapat yang intinya menolak revisi, Hasyim maupun komisioner KPU RI lainnya tidak menyampaikan sanggahan. Pimpinan Bawaslu RI dan DKPP yang sebelumnya mendukung penuh revisi, tampak juga tak bersuara menentang kehendak anggota dewan.
Hingga berita ini ditulis, belum diketahui apakah KPU akan tetap melakukan revisi sesuai tuntutan publik, atau manut terhadap keinginan partai politik di DPR.
Sebelumnya, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengingatkan KPU RI agar tidak tersandera kepentingan partai politik di DPR ketika merevisi ketentuan penghitungan kuota minimal 30 persen caleg perempuan.
Perludem mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.92/PUU-XIV/2016 telah menyatakan bahwa hasil konsultasi KPU dengan DPR dan Pemerintah tidak bersifat mengikat. Karena itu, Perludem mewanti-wanti agar KPU melakukan revisi sesuai rencana awal, jangan berubah akibat tekanan anggota dewan.
"KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya oleh UUD tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya membuat Peraturan KPU. Apalagi, mengingat KPU adalah lembaga yang bertugas menjamin pemilu dan pilkada terlaksana secara demokratis," ujar Pembina Perludem, Titi Anggraini pekan lalu.