PBB Desak Pihak yang Bertikai di Sudan Hormati Gencatan Senjata

Gencatan senjata yang disepakati pada Senin kemarin adalah yang ketujuh sejak konflik

AP Photo/Marwan Ali
File foto asap mengepul di Khartoum, Sudan, pada 3 Mei 2023, di tengah konflik antara tentara Sudan, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Burhan, dan kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF) yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Utusan PBB untuk Sudan, Volker Perthes mendesak para jenderal yang bertikai di negara itu untuk menghormati gencatan senjata selama tujuh hari yang dimulai pada Senin (22/5/2023) malam./Perthes mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa, konflik di Sudan tidak menunjukkan tanda-tanda melambat kendati ada enam deklarasi gencatan senjata. Sejauh ini, kedua belah pihak selalu melanggar gencatan senjata.

Baca Juga


Gencatan senjata pada Senin adalah yang ketujuh sejak konflik antara tentara Sudan, yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Burhan, dan kelompok paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (RSF) yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo, pecah pada 15 April lalu. Berbicara beberapa jam sebelum gencatan senjata dimulai, Perthes meminta kedua belah pihak untuk menghentikan pertempuran sehingga bantuan kemanusiaan dapat disalurkan, dan warga sipil yang terjebak dalam pertempuran dapat dievakuasi dengan selamat.

Kekerasan paling parah terjadi di Khartoum dan wilayah barat Darfur. RSF mempertahankan kehadiran bersenjata yang kuat di kedua wilayah itu. Menurut perkiraan konservatif, Perthes mengatakan lebih dari 700 orang tewas, termasuk 190 anak-anak, dan 6.000 orang terluka.  Dia mengatakan lebih dari 1 juta telah mengungsi dan banyak yang hilang.

Perthes juga menyatakan keprihatinan tentang dimensi etnis yang mengkhawatirkan dalam perang, yang paling terlihat di wilayah Darfur yang bergolak. Pada awal 2000-an, komunitas Afrika dari Darfur yang telah lama mengeluhkan diskriminasi, melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Khartoum. Pemberontakan ini ditanggapi dengan kampanye militer yang kemudian disebut oleh Pengadilan Kriminal Internasional sebagai genosida.  

Milisi Arab yang didukung negara yang dikenal sebagai Janjaweed dituduh melakukan pembunuhan yang meluas, pemerkosaan, dan kekejaman lainnya.  Banyak pejuangnya kemudian dimasukkan ke dalam Pasukan Pendukung Cepat.

Perthes mengatakan, El Geneina di Darfur Barat, bentrokan antara pasukan yang bersaing berubah menjadi kekerasan etnis pada 24 April. Milisi suku bergabung dalam pertempuran dan warga sipil mengangkat senjata untuk melindungi diri mereka sendiri.  Sekitar 450 warga sipil dilaporkan tewas.

“Rumah, pasar, dan rumah sakit dijarah dan dibakar, bangunan PBB dijarah,” kata Perthes.

Perthes menyatakan, dimensi etnis yang berkembang dalam konflik tersebut tidak hanya menimbulkan risiko bagi Sudan tetapi juga memiliki implikasi bagi wilayah tersebut. Tidak seperti gencatan senjata sebelumnya, kesepakatan yang ditandatangani pada Senin akan didampingi oleh komite lintas partai yang dirancang untuk melacak potensi pelanggaran. 

Komite beranggotakan 12 orang itu akan terdiri dari tiga perwakilan dari kedua pihak yang bertikai, tiga dari Amerika Serikat (AS) dan tiga dari Arab Saudi.

Direktur lembaga think tank Transparency and Policy Tracker Sudan, Suliman Baldo, mengharapkan kedua pihak untuk mematuhi gencatan senjata selama seminggu ini. “Saya pikir RSF perlu istirahat karena mendapat tekanan besar dari (tentara Sudan) di Khartoum yang berusaha untuk menyingkirkan unit RSF dari daerah pemukiman,” kata Baldo.

“(Tentara Sudan) mungkin tergoda untuk melanjutkan ofensifnya di Khartoum tetapi akan menjadi jelas bagi mereka bahwa ini akan menimbulkan biaya yang lebih tinggi dengan korban tambahan di antara warga sipil,” tambah Baldo.

Perthes menyebut gencatan senjata itu sangat baik. Tetapi dia memperingatkan bahwa, pertempuran dan pergerakan pasukan terus berlanjut, kendati ada komitmen dari kedua belah pihak untuk tidak mengejar keuntungan militer sebelum gencatan senjata berlaku. Perthes menuduh kedua pihak yang bertikai telah mengabaikan hukum perang dengan menyerang rumah, toko, tempat ibadah, serta instalasi air dan listrik.

Perthes mengatakan, fasilitas kesehatan runtuh dan lebih dari dua pertiga rumah sakit ditutup. Selain itu, banyak petugas kesehatan tewas, pasokan medis menipis, dan fasilitas kesehatan dilaporkan digunakan sebagai posisi militer. Laporan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk pemerkosaan di Khartoum dan Darfur, sedang ditindaklanjuti oleh PBB.

“Laporan tentang penjarahan yang merajalela atas rumah dan bisnis Sudan, intimidasi, pelecehan, dan penghilangan paksa penduduk sangat memprihatinkan,” kata Perthes.

Perthes menambahkan, bangunan, tempat tinggal, dan gudang PBB juga telah dijarah.  Dia mengatakan aktivitas kriminal telah diperparah dengan pembebasan ribuan tahanan dan penyebaran senjata ringan.

Sementara musuh yang bertikai tidak saling percaya. Perthes mengatakan, mereka tidak akan mencapai kemenangan militer yang mudah.  

"Bahkan jika satu pihak menang setelah perjuangan panjang, itu bisa mengorbankan negara," ujar Perthes.

Dalam pengarahan melalui video kepada Dewan Keamanan, Komisaris Uni Afrika Bankole Adeoye menyerukan upaya nyata untuk penghentian permusuhan yang berkelanjutan. Dia mendesak para jenderal yang bersaing menempuh jalan penuh untuk perdamaian.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif kelompok regional IGAD, Workneh Gebeyehu, mengatakan, delegasinya yang dipimpin oleh Presiden Sudan Selatan Salva Kiir telah melibatkan para pihak serta berkoordinasi dengan para aktor regional dan internasional. Dia optimis gencatan senjata pada Senin dapat menghentikan konflik. Dia mendesak dukungan internasional untuk upaya IGAD dalam menyelesaikan konflik.

"Gencatan senjata tujuh hari membuat kami sangat optimis bahwa penghentian permanen permusuhan dapat dicapai," ujar Gebeyehu.

sumber : AP
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler