Tak Semua Ulama Dekat dengan Kekuasaan, Ini Alasan Mereka Menolak Diberi Jabatan
Sejumlah sahabat dan ulama masa lalu takut emban jabatan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jabatan selalu menjadi daya tarik bagi banyak orang. Tak heran jika banyak yang berebut menduduki jabatan tertentu. Namun lain halnya dengan sahabat Nabi Muhammad SAW dan ulama terdahulu.
Dalam sejarah Islam, terdapat sahabat Nabi Muhammad SAW dan ulama terdahulu yang tercatat pernah menolak jabatan yang diberikan kepada mereka. Padahal banyak yang tertarik untuk menduduki jabatan tersebut.
Berikut ini sahabat Nabi Muhammad SAW dan ulama yang menolak jabatan beserta alasannya yang patut menjadi renungan bersama.
1. Utbah bin Ghazwan
Utbah bin Ghazwan adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, yang semasa hidupnya dia pernah menolak jabatan yang diberikan Khalifah Umar bin Khattab.
Sahabat yang lahir pada tahun 40 sebelum hijrah itu pernah diutus Khalifah Umar untuk berangkat ke Ablah, Persia, dengan tujuan membebaskan kota tersebut. Saat itu Utbah memimpin pasukan dalam jumlah yang cukup besar.
Setelah perang berkecamuk, Kota Ablah akhirnya berhasil dibebaskan kemudian nama kota tersebut diubah menjadi Kota Bashrah. Utbah pun mendirikan sebuah masjid di sana. Utbah selain membebaskan Ablah, juga membebaskan kota Maisan dan Abdzaqubadz.
Karena keberhasilannya itu, Utbah diangkat menjadi Gubernur Bashrah oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sungguh ini jabatan yang sama sekali tak terpikirkan dan tak diinginkan oleh Utbah.
Di sana Utbah hidup dalam kezuhudan. Bahkan banyak orang yang menawarkan kehidupan yang mewah dan glamor kepada dirinya, tetapi semua itu dia tolak.
Saat ditawari berbagai kemewahan, dia berkata: "Aku berlindung kepada Allah SWT menjadi orang besar dalam kehidupan duniawi kalian, dan menjadi orang kerdil di hadapan Allah."
Suatu hari, Utbah hendak mengundurkan diri dari jabatan gubernur kepada Khalifah Umar SWT. Setelah melaksanakan ibadah haji, Utbah menemui Khalifah Umar di Madinah dan menyampaikan pengunduran dirinya. Namun permintaan ini ditolak Umar SWT.
Utbah tetap diminta untuk berada di Bashrah, supaya dirinya mengajarkan Islam kepada penduduk setempat. Utbah pun berdoa agar ia tidak dikembalikan ke Bashrah dan tidak pula menjadikannya sebagai gubernur untuk selama-lamanya. Doanya terkabul.
Sahabat yang meriwayatkan 4 hadits dari Rasulullah SAW itu wafat saat melakukan perjalanan sebelum sampai ke wilayah Bashrah, pada tahun 17 Hijriyah.
Baca juga: 7 Daftar Kontroversi Panji Gumilang Pimpinan Al Zaytun yang tak Pernah Tersentuh
2. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim saat diminta untuk mengambil alih peradilan. Akibatnya dia pun harus menerima hukuman 10 cambukan setiap hari selama berhari-hari. Seorang ahli fiqih bernama Abdullah bin Farukh al-Farisi pernah bertanya kepada Imam Abu Hanifah soal mengapa tidak ingin menjadi hakim.
Lalu dijawab Abu Hanifah, "Farukh, hakim itu ada tiga. Pertama, orang yang bisa berenang dengan baik maka akan berada di laut dalam waktu yang lama. Lambat-laun ia akan kelelehan dan tenggelam. Kedua, orang yang hanya bisa berenang maka setahun kemudian dia akan tenggelam. Ketiga, orang yang tidak bisa berenang, menceburkan dirinya ke dalam air, lalu ia pun segera tenggelam."
3. Qasim bin Tsabit bin Abdul Aziz al-Fihri
Qasim berasal dari Zaragoza di Andalusia. Dia diminta negaranya untuk menjadi hakim tetapi menolak.
Ketika dipaksa pemimpin negeri, dia pun meminta waktu selama tiga hari untuk mempertimbangkannya sekaligus meminta petunjuk kepada Allah SWT. Dalam rentang waktu 3 hari inilah, Abdul Aziz al-Fihri wafat.
Pada masa Kekhalifahan Islam, hakim menjadi jabatan bergengsi. Begitu penting peran yang dimainkannya dalam menyelesaikan perselisihan dan menangani urusan umat Islam. Bahkan, orang yang menjabat sebagai hakim, akan mendapat kekebalan dan kebebasan dari otoritas politik saat itu.
Baca juga: Mualaf Theresa Corbin, Terpikat dengan Konsep Islam yang Sempurna Tentang Tuhan
Mengapa demikian? Karena penguasa yang menunjuk seseorang untuk menjadi hakim tentu menginginkan suatu pilihan yang baik untuk dirinya.
Kondisi ini menjadikan hakim memiliki otoritas yang berparalel dengan otoritas politik. Saat itu muncul istilah, "Tidak ada kehormatan di dunia setelah kekhalifahan kecuali peradilan."
Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, "Tidak ada orang yang lebih dekat dengan Allah SWT pada Hari Kebangkitan kelak setelah raja terpilih dan nabi, kecuali pemimpin yang adil."
Untuk menjadi seorang hakim, dibutuhkan ilmu dan ketakwaan, sebagaimana perkataan Malik bin Anas. Para ahli fiqih, yang termasuk orang-orang beriman dan berilmu, sering menolak jabatan hakim peradilan.
Mereka khawatir apa yang diputuskannya tidak mampu memperbaiki berbagai urusan sesuai ketentuan syariat. Selain itu, mereka menolak demi menghindari risiko jatuh ke dalam kesalahan saat mengeluarkan putusan.