Tangan Kotor Inggris di Balik Berdirinya Israel dan Terjajahnya Palestina Sampai Detik Ini
Israel mempunyai andil besar dalam berdirinya Israel di Palestina
REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM – Peran Inggris dalam memberikan karpet merah kepada Israel untuk mendominasi Palestina tidak bisa dilupakan dari jejak sejarah.
Peran itu membuka jalan lahirnya negara Israel yang diproklamasikan pada 14 Mei 1948. Sehari setelahnya, 15 Mei 1948, terjadi peristiwa Nakba di mana rakyat Palestina tersingkir dari tanahnya sendiri. Berdirinya Israel tak bisa dilepaskan dari peran Inggris, dan peristiwa Nakba 1948 tidak seharusnya membuat Inggris lepas tanggung jawab.
Pada 1948, sekitar 530 desa dan lebih dari 62 ribu rumah di Palestina porak-poranda. Akibatnya, sekitar 13 ribu warga Palestina meninggal dunia.
Hampir tiga perempat juta warga Palestina terusir dari rumahnya, setara dengan dua pertiga populasi Arab. Klimaksnya ialah peristiwa Nakba Palestina 1948, tetapi ini bukan permulaan.
Zionisme memang merupakan gerakan pemukim kolonial yang tujuan utamanya sejak awal adalah membangun negara Yahudi merdeka di Palestina di wilayah yang seluas mungkin.
Namun, kalau bukan karena kolonialisme Inggris, Israel tidak akan bisa mendirikan negaranya sendiri.
Setelah Inggris mendeklarasikan Mandat Atas Palestina pada tahun 1922, kebijakan kolonialnya adalah mengawasi pembangunan sektor Yahudi dan Arab dengan biaya serendah mungkin untuk memastikan keuntungan maksimal. Di sisi lain, sejak itu Gerakan Zionis global menggenjot investasi dan imigran ke Palestina.
Baca juga: Mualaf Theresa Corbin, Terpikat dengan Konsep Islam yang Sempurna Tentang Tuhan
Kemudian, selama 1920-an, setelah Nazi merebut kekuasaan di Jerman, Palestina mulai dihuni oleh banyak orang Yahudi Jerman yang relatif kaya.
Kemudian, pada 1930-an, sektor ekonomi Yahudi yang didukung praktik kolonial Inggris mendominasi sektor Arab di Palestina.
Dengan demikian, gerakan Zionis didorong oleh logika kolonialisme pemukim, yang berusaha untuk melenyapkan penduduk asli dan mengganggu kemerdekaan politik mereka demi orang Yahudi.
Ketika kekuatan politik di Barat memikul tanggung jawab umum atas pembentukan negara Israel, di sisi lain Inggris memikul tanggung jawab khusus karena peran menentukan yang dimainkannya dalam merampas tanah Palestina melalui Deklarasi Balfour dan ketentuan Mandat Inggris, serta penarikannya dari Palestina pada 1948.
Melalui mandat dan pengaturan kondisi yang mendukung pembangunan tanah air bagi orang Yahudi, Inggris memikul tanggung jawab atas nasib orang Palestina.
Inggris memungkinkan mitra juniornya, Israel, untuk secara sistematis mengambil alih Palestina.
Pada 2 November 1917, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour. Dinamai demikian, karena sesuai dengan nama Menteri Luar Negeri Inggris kala itu, Arthur Balfour.
Dia menjanjikan dukungan Inggris untuk pendirian rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina.
Tujuan Deklarasi Balfour adalah untuk meminta bantuan Yahudi di seluruh dunia dalam upaya perang melawan Jerman dan Kesultanan Turki Utsmani.
Walaupun dalam deklarasi tersebut berisi peringatan bahwa tidak akan ada tindakan yang merugikan hak-hak sipil dan keagamaan komunitas non-Yahudi di Palestina, nyatanya syarat ini tidak pernah dilaksanakan.
Saat itu, wilayah Palestina masih berada di bawah kekuasaan Ottoman, dan orang Arab merupakan 90 persen dari populasi wilayah Palestina dan orang Yahudi hanya 10 persennya dan memiliki hanya 2 persen tanah.
Karena itu, Deklarasi Balfour adalah dokumen kolonial klasik karena memberikan hak nasional kepada minoritas kecil dan hanya beberapa hak sipil dan agama kepada mayoritas.
Dengan kata lain, orang Arab tidak diperhitungkan, dan hak mereka, termasuk hak penentuan nasib sendiri, dianggap sebagai prasangka yang tidak sah.
Kemudian, pada Juli 1922, Liga Bangsa-Bangsa memberi Inggris "Mandat Inggris atas Palestina". Mandat ini, di antara misinya adalah untuk mempersiapkan penduduk lokal untuk membentuk pemerintahan sendiri dan untuk menyerahkan kekuasaan ketika mereka dapat memerintah diri mereka sendiri dan mengembangkan wilayah untuk kepentingan penduduk asli.
Baca juga: 7 Daftar Kontroversi Panji Gumilang Pimpinan Al Zaytun yang tak Pernah Tersentuh
Namun, masalahnya justru pada kolonialisme itu sendiri. Terlebih dengan masuknya Deklarasi Balfour ke dalam Mandat Palestina.
Penulis Britain and Its Mandate Over Palestine: Legal Chicanery on a World Stage, John Quigley, menuturkan, tidak ada kata yang lebih tepat selain 'penipuan' untuk menggambarkan upaya manipulatif Inggris dalam rangka mengubah Palestina menjadi mayoritas Yahudi.
"Penipuan adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan cara Inggris memanipulasi Liga Bangsa-Bangsa untuk memberinya kekuasaan atas Palestina, dan memang demikian gambaran terbaik tentang bagaimana mereka menyalahgunakan kekuasaan ini untuk mengubah Palestina dari sebuah negara dengan mayoritas negara Arab dengan mayoritas Yahudi," tulis John Quigley.
Selama periode mandat kolonial, Inggris memperkenalkan serangkaian dekrit yang mengizinkan imigrasi Yahudi tanpa syarat ke Palestina dan memfasilitasi pembelian oleh orang Yahudi atas tanah, yang telah ditanami orang Palestina selama beberapa generasi.
Tak tinggal diam, orang Arab menuntut pembatasan imigrasi Yahudi dan pembebasan tanah.
Mereka juga menyerukan Majelis Nasional yang dipilih secara demokratis yang akan mencerminkan keseimbangan demografis negara.
Namun, Inggris melawan tuntutan ini dan mencegah pembentukan institusi demokrasi rakyat.
Kemudian, pada 1936, pemberontakan Arab pecah melawan penjajahan Inggris di Palestina. Ini adalah pemberontakan rakyat yang berlangsung hingga 1939.
Tentara Inggris bertindak brutal yang melanggar hukum perang dan hak asasi manusia serta mempraktikkan kebijakan hukuman kolektif, genosida, dan pemindahan.
Akibatnya, perlawanan Inggris melemahkan revolusi Palestina, dan sekitar 5.000 orang Palestina gugur, 15 ribu lainnya luka-luka, dan hampir 6.000 dipenjara.
Sejarawan Palestina Rashid Khalidi mengatakan, Palestina tidak hilang pada akhir 1940-an, kecuali pada akhir tahun 1930-an. Ini karena kerusakan parah yang ditimbulkan Inggris pada masyarakat Palestina dan pasukan paramiliternya selama revolusi Arab.
Pada akhirnya, berkat Inggris yang berhasil mengatasi segala rintangan yang mungkin terjadi, Zionis dapat mendorong pasukan paramiliter mereka untuk menyerang Palestina dan mengintensifkan operasi pembersihan etnis.
Dari Deklarasi Balfour dan Mandat Atas Palestina, Inggris tidak memperbaiki perannya dalam penindasan Palestina atau bahkan mencoba untuk mengakhirinya bahkan hingga hari ini.
Pemerintah Inggris selalu menawarkan dukungan tegas kepada Israel, baik dengan menutup mata terhadap kekejaman yang dilakukannya.
Pemerintah Inggris secara terbuka mengklaim dalam kebijakan luar negerinya bahwa mereka mendukung perdamaian antara Palestina dan Israel, tetapi pada saat yang sama telah mengizinkan senjata untuk pasukan Israel, termasuk pesawat terbang, bom, kendaraan lapis baja dan amunisi, di depan orang-orang Palestina yang tak berdaya.
Selain itu, pemerintah Inggris menghabiskan jutaan dolar setiap tahun untuk membeli senjata yang telah diuji coba dari perusahaan Israel.
Pada 2016, misalnya, perusahaan senjata Israel Elbit Systems menandatangani kontrak senjata senilai 800 juta poundsterling dengan Thales UK, yang difasilitasi pemerintah Inggris.
Inggris adalah satu-satunya negara di dunia yang mempersenjatai Israel selama 75 tahun keberadaannya. Hampir 100 tahun setelah Nakba, pemerintah Inggris masih harus mengakui bahwa mereka memikul tanggung jawab atas apa yang dilakukan pemerintahnya terhadap rakyat Palestina.
Sumber: arabicpost