Erdogan Mematahkan Prediksi Politik

Erdogan diprediksi akan kembali berkuasa setelah 20 tahun memimpin Turki.

AP Photo/Khalil Hamra
Kandidat Presiden Turki dan Aliansi Rakyat Recep Tayyip Erdogan. Pemungutan suara putaran kedua ini akan menjadi yang paling penting dalam sejarah modern Turki yang didirikan 100 tahun lalu.
Rep: Lintar Satria Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mematahkan prediksi politik dalam Pemilu. Ia berhasil menggalang pemilih konservatif religius dan nasionalis. Ia pun diprediksi akan kembali berkuasa setelah 20 tahun memimpin Turki.

Meski belum dipastikan menang dalam pemilihan putaran kedua melawan ketua koalisi oposisi Kemal Kilicdaroglu, Erdogan meraih momentum setelah memenangkan putaran pertama pada 14 Mei lalu dan sejumlah pengamat yakin Erdogan akan menang.

Kemenangan akan mengukuhkan kekuasaannya sebagai pemimpin yang mengubah Turki dari negara sekuler yang didirikan 100 tahun lalu agar lebih religius sesuai visinya sambil mengonsolidasikan kekuasaan ke tangannya.

Di panggung internasional Erdogan menjauh dari negara-negara Barat anggota NATO (Organisasi Pertahanan Atlantik Utara) dan mempererat hubungan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Ia menjadikan Turki sebagai salah satu kekuatan di kawasan yang diperhitungkan.

Kritikus mengatakan Turki semakin terpolarisasi selama 20 tahun kekuasaan Erdogan termasuk selama kampanye. Tapi ia justru menyerang balik oposisi yang ia tuduh "meracuni wacana politik."

"Kami akan terus merangkul bangsa kami, yang merupakan cara berpikir dari budaya kami, bila kami menang pada 28 Mei, atas izin Allah, semua orang dari 85 juta rakyat kami akan menang," katanya pada CNN Turki, Kamis (25/5/2023) lalu.

Pemungutan suara Ahad (28/5/2023) ini akan menjadi yang paling penting dalam sejarah modern Turki yang didirikan 100 tahun lalu. Oposisi memiliki peluang terbaiknya menyingkirkan Erdogan dan mengubah kebijakannya.

Namun tampaknya Erdogan akan tetap bertahan, oposisi salah langkah berharap krisis biaya hidup dan gempa yang menewaskan 50 ribu orang bulan Februari akan menjadi pukulan terhadapnya. Kritikus dan penyintas gempa marah atas lambannya respons pemerintah dan longgarnya peraturan konstruksi yang mengakibatkan banyak korban tewas.

Namun Partai AK yang berakar Islam konservatif menang di 10 dari 11 provinsi terdampak gempa. Koalisi partai berkuasa pun menjadi mayoritas di parlemen dalam pemilihan 14 Mei lalu. Erdogan menggunakan tema konservatif dengan menuduh lawannya pro LGBTQ+.

Erdogan juga menuduh Kilicdaroglu berpihak pada terorisme dan dekat dengan kelompok milisi Partai Pekerja Kurdi (PKK). Kilicdaroglu menyebut tuduhan tersebut sebagai fitnah. Erdogan berulang kali menggunakan video yang direkayasa untuk menuduh Kilicdaroglu dekat dengan PKK, kelompok yang menggelar pemberontakan yang menewaskan 40 ribu orang lebih.

Baca Juga


sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler