Perludem: Bahaya Jika Pilihan Sistem Pemilu Ditentukan MK 

Penentuan sistem pemilu dinilai bukan ranah MK, tapi pembentuk undang-undang.

Amin Madani/Republika
Mahkamah Konstitusi
Rep: Febryan A Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyerahkan berkas kesimpulan sebagai pihak terkait uji materi sistem proporsional terbuka ke Sekretariat Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (31/5/2023). Dalam kesimpulannya, Perludem menegaskan bahwa penentuan sistem pemilu bukan ranah MK, melainkan ranah pembentuk undang-undang. 

Baca Juga


Peneliti Perludem, Kahfi Adlan Hafiz, menjelaskan, sebenarnya tidak ada isu konstitusionalitas dalam penentuan sistem pemilu. Sebab, UUD 1945 tidak menentukan sistem pemilu yang harus digunakan. UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan sistem pemilu apa yang paling cocok di Indonesia. 

"Artinya, kan sistem pemilu itu adalah pilihan politik dengan mempertimbangkan, misalnya, konfigurasi politik di Indonesia, mempertimbangkan sosiokultural yang ada, dan lain sebagainya," kata Kahfi di gedung MK seusai menyerahkan berkas kesimpulan.

Karena itu, Kahfi melanjutkan, akan sangat berbahaya apabila MK ikut serta memutuskan sistem pemilu. Sebab, pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah tidak bisa lagi mengevaluasi atau mengganti sistem pemilu pada kemudian hari. 

"Dalam kesimpulan, kami tegaskan bahwa akan sangat berbahaya ketika sistem pemilu itu diputuskan oleh MK," ujarnya. 

Kahfi mencontohkan, apabila MK memutuskan sistem proporsional tertutup sebagai sistem yang konstitusional. Dengan demikian, sistem lainnya menjadi inkonstitusional. Pembentuk undang-undang lantas tidak bisa mengganti sistem pemilu dengan sistem lainnya, seperti proporsional terbuka, sistem mayoritas, dan sistem campuran. Padahal, penggunaan sistem pemilu harus dievaluasi setiap seusai gelaran pemilu. 

"Mungkin sekarang sistem pemilu yang lebih relevan adalah sistem proporsional, tapi pada masa depan nanti bisa jadi yang lebih relevan adalah sistem campuran atau sistem mayoritas. Ketika MK memutuskan satu sistem yang konstitusional, tidak ada ruang evaluasi sistem pada masa depan," ujarnya. 

 

 

Kahfi menegaskan, pihaknya meminta MK untuk menolak gugatan pemohon dalam uji materi sistem proporsional terbuka ini. Dengan demikian, penentuan sistem pemilu kembali menjadi ranah pembentuk undang-undang alias open legal policy. 

Sebagai catatan, sistem proporsional terbuka sebenarnya sedang digunakan dalam Pemilu 2024. Hanya saja, enam warga negara perseorangan menggugat sistem tersebut ke MK pada akhir 2022 lalu. 

Para penggugat yang salah satunya merupakan kader PDIP meminta MK memutuskan pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup. Adapun MK kini sedang mengumpulkan berkas kesimpulan dari pihak terkait untuk dijadikan pertimbangan dalam membuat putusan. 

Meski MK belum membuat putusan, muncul informasi 'bocoran' bahwa MK akan memutuskan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Bocoran itu sontak membuat publik heboh karena sistem proporsional tertutup dianggap tidak demokratis dan juga ditolak oleh semua partai parlemen kecuali PDIP. 

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh parpol lewat nomor urut calon anggota legislatif (caleg) yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. 

Adapun dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg maupun partai yang diinginkan. Caleg dengan suara terbanyak berhak duduk di parlemen. Sistem ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler