Polusi Udara yang Semakin Buruk Bisa Picu Stunting, Dokter: Sedih Lho Ini

Dokter menyerukan perbaikan kualitas udara.

EPA-EFE/DIEGO AZUBEL
Polusi udara di Bangkok, Thailand, Jumat (27/1/2023). Studi memperlihatkan polusi udara dapat memicu stunting.
Rep: Desy Susilawati Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan inim banyak dibicarakan soal polusi udara, terutama di Jabodetabek, yang semakin buruk. Bahkan, para dokter pun turut membicarakan hal ini lewat akun media sosial pribadinya.

"Saya percaya, semakin buruk kondisi udara karena polusi, akan semakin banyak bayi yang risiko tinggi berujung stunting," ujar dokter spesialis anak KS Denta dalam cicitan lewat akun Twitter @sdenta pada Selasa (29/5/2023).

Menurut dr Denta, kaitan antara stunting dan polusi udara sudah banyak dibahas di banyak studi. "Sekarang tinggal kita dan pemerintah mau apa nggak untuk cari solusinya. Sedih lho ini, sedih banget," ungkapnya.

Dokter Denta melengkapi argumentasinya dengan mem-posting tangkapan layar sebuah studi di Afrika mengenai dampak polusi udara pada stunting. Studi ini diterbitkan di Environmental Health Journal Biomedcentral pada 12 Desember 2022.

Baca Juga


Latar belakang studi tersebut menyebutkan kurang gizi adalah krisis kesehatan masyarakat global, menyebabkan hampir setengah dari kematian anak di bawah usia lima tahun. Sedikit yang diketahui mengenai dampak polusi udara dalam rahim dan anak usia dini terhadap hasil kesehatan terkait kekurangan gizi.

"Tujuan dari penelitian kami adalah untuk mengevaluasi hubungan pajanan pranatal dan awal kehidupan terhadap PM 2.5 dan malanutrisi anak sebagaimana ditangkap oleh skor-z tinggi-untuk-usia (HAZ), dan stunting di 32 negara di Afrika," ujar peneliti.

Peneliti juga mengevaluasi jendela kerentanan kritis selama kehamilan terhadap setiap risiko lingkungan. Metode yang digunakan untuk studi adalah menghubungkan data antropometri perwakilan nasional dari 58 Demographic and Health Surveys ( n = 264.207 anak <5 tahun) dengan rata-rata konsentrasi PM 2,5 dalam rahim yang berasal dari citra satelit.

Peneliti kemudian memperkirakan hubungan antara PM 2.5 dan stunting dan HAZ setelah mengendalikan faktor anak, ibu dan rumah tangga, serta tren waktu dan musim. Partikulat (PM 2.5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer).

Hasil studi menunjukkan peneliti mengamati HAZ, yang lebih rendah dan peningkatan stunting dengan paparan PM 2.5 dalam rahim yang lebih tinggi, dengan hubungan yang signifikan secara statistik diamati untuk stunting (OR: 1,016 (95 persen CI: 1,002, 1,030), untuk peningkatan 10 μg/ m3).

Asosiasi yang diamati kuat untuk berbagai spesifikasi model. Tes Wald mengungkapkan bahwa jenis kelamin, kuintil kekayaan, dan perkotaan atau pedesaan bukanlah pengubah efek yang signifikan dari asosiasi ini.

Saat mengevaluasi hubungan antara tingkat PM 2.5 khusus trimester, peneliti mengamati bahwa hubungan antara PM 2.5 dan stunting adalah yang terbesar. Ini adalah salah satu studi pertama untuk benua Afrika yang menyelidiki paparan dalam rahim dan awal kehidupan terhadap PM 2.5 yang merupakan penanda penting kekurangan gizi pada masa kanak-kanak.

"Hasil kami menyoroti bahwa konsentrasi PM 2.5 perlu segera dikurangi untuk membantu mengatasi kekurangan gizi pada anak-anak di benua Afrika," bunyi kesimpulan studi tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler